“Udah naik semua?” Pak Chris bertanya pada Eza yang tengah mendata teman-temannya di atas bus.
“Udah, Pak.” Eza menutup kertas daftar kehadirannya.
“Oh iya. Nanti apa ada yang masih mau belanja di Puncak?” tanya Pak Chris.
Para siswa tampak berkasak-kusuk.
“Ada tidak?” tanya Pak Chris lagi.
“Nggak ada, Pak.” Rifki menjawab dari kursi bagian belakang.
“Nggak ada….” Suara yang lain ikut menyahut.
“Kalau nggak ada, kita lewat Purwakarta saja,” ujar Pak Chris.
“Yaahh….” Terdengar nada suara kecewa dari para siswa.
“Biar cepat sampai.” Pak Chris beralasan.
“Tapi, kan, lebih enak lewat Puncak, Pak,” sanggah salah seorang siswa.
“Mendingan lewat Purwakarta aja, ngapain kelamaan di jalan?” Siswa yang lain malah setuju dengan Pak Chris.
“Jadi bagaimana ini?” Pak Chris akhirnya melempar tawaran.
Para siswa tampak berpikir sejenak.
“Langsung balik aja,” ujar Ferry.
“Iya. Balik aja. Lagian kita juga udah capek.”Eza juga setuju.
Yang lain akhirnya setuju juga.
“Oke, ya. Kita langsung balik lewat Purwakarta.” Pak Chris memutuskan.
Bus pun berangkat ke Jakarta. Dan sesuai kesepakatan, rute yang diambil adalah lewat Purwakarta. Para siswa pun ternyata banyak yang tertidur sepanjang perjalanan karena kelelahan.
Rute Purwakarta, kemudian masuk jalan tol Jakarta-Cikampek, memang memangkas waktu banyak. Terbukti, rombongan kelas II-6 adalah yang pertama tiba kembali di sekolah. Berangkat paling belakangan, dan tiba paling duluan.
Beberapa anak yang rumahnya dekat langsung pulang. Beberapa lainnya yang belum dijemput segera menuju telepon umum. Beberapa mengantre di telepon umum depan sekolah, beberapa lainnya menuju telepon di ruang piket guru yang juga di-setting menjadi telepon umum.
Para siswa yang sudah selesai menelepon kemudian memenuhi lobi sekolah untuk menunggu dijemput. Dan memang, tak lama para orang tua murid datang satu per satu untuk menjemput. Mikha adalah yang terakhir dijemput. Sebelum Audy, maksudnya. Dan kini, tinggallah Audy sendirian di lobi.
Sejujurnya, Audy panik. Ia sebenarnya sudah memberi tahu perkiraan bus tiba di sekolah, yaitu pukul setengah 12 malam. Di surat pengumuman juga tertulis perkiraan waktu tiba. Masalahnya, bus tiba jauh lebih cepat dari perkiraan.
Tadi, Audy sudah menelepon ke rumah. Tepatnya, menelepon ke operator pager milik Ayah. Masalahnya, entah apakah Ayah mendengarnya karena biasanya pager ditaruh di lemari. Teman-teman Audy yang tadi menelepon tentu saja menelepon ke--telepon--rumah. Makanya, orang tua mereka segera tiba. Pastinya karena rumah mereka juga relatif dekat dari sekolah.
Audy menatap sekeliling. Rupanya, seperti ini suasana sekolah di malam hari. Audy lalu membuka tas ransel dan mengambil tape recorder yang tadi digunakan untuk merekam. Ia mengeluarkan kaset di dalamnya, dan menggantinya dengan kaset lain—kaset kesayangan Audy dengan sampul bergambar lima cowok keren dengan warna dominan kuning. Kali ini, giliran “Another Crack In My Heart” yang mengalun syahdu.
Love cannot be on my side, it’s clearer every day … that every time I reach for love, it always run away….
Audy begitu terhanyut dengan lirik lagu tersebut hingga kemudian tersentak karena ada yang mencolek tangannya. Ia pun menoleh.
“Dijemput?” Tahu-tahu Pak Chris duduk di sampingnya.
Audy melepas earphone, lalu mengangguk.
“Jam berapa?”