“Bob! Lo sengaja menghindar, ya?” Terdengar suara Rio melabrak Bobby dari dalam kamar mandi laki-laki.
“Kenapa, sih?” Suara Bobby terdengar berusaha cuek.
“Lo ngapain nyempil di kelompoknya anak cewek?”
“Mereka, kan, kurang orang.” Bobby memberikan alasan. Untuk tugas study tour ke Bandung, Bobby memang bergabung dengan kelompok Rini, Ira, Yunita, dan Dwi—geng “anak baik-baik”.
“Eh, lo jangan gitu, dong! Nggak kompak itu namanya.” Nada suara Rio terdengar kesal.
“Tapi, kelompok lo bisa tanpa gue, kan?”
“Lo tolong bikinin kesimpulan gue, ya?” pinta Rio—atau lebih tepatnya perintah.
“Ha?”
“Iya, lo bikinin tugas gue. Gue bagian bikin kesimpulan,” jelas Rio.
“Tapi, kan, gue nggak tahu kelompok lo bikin laporannya kayak apa.”
“Halah! Banyak omong banget, sih, lo!”
Audy, yang habis dari kamar mandi perempuan dan sedari tadi berdiri di depan kamar mandi laki-laki yang berada di sebelah persis, semakin menajamkan telinganya. Suara Rio dan Bobby menarik perhatiannya.
“OK, ya. Pokoknya bagian gue, elo yang kerjain. Bye.” Kembali terdengar suara Rio, diikuti sosoknya yang berjalan keluar. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiran Audy.
Audy pun hanya menatapnya dari belakang. Lagi-lagi Rio menggencet Bobby.
Audy berjalan melewati kamar mandi laki-laki dan melirik ke dalam. Tampak Bobby tengah mencuci tangan di wastafel. Entah sampai kapan Bobby harus terus menjadi korban perundungan Rio.
Suasana kelas II-6 riuh karena para siswa duduk berkelompok. Bu Sari yang mengajar sejarah tampak duduk sambil memeriksa berkas. Hari ini para siswa memang dibebaskan untuk berdiskusi membahas hasil study tour beberapa waktu yang lalu dan mengerjakan makalah.
Audy menatap Mikha dari kejauhan dan memberikan kode agar Mikha menghampirinya. Mikha yang menangkap tatapan Audy pun segera beranjak menuju pintu kelas tempat Audy menunggu.
“Ada apa?” tanya Mikha.
“Bobby.” Audy melirik arah kamar mandi, “kena gencet Rio.”
Mikha menghela napas. “Rio lagi.” Rio memang sudah “terkenal” sebagai biang keonaran di tahun ajaran ini. Meski anak lain ada juga yang bandel, tingkah polah Rio sering menjadi provokasi bagi yang lain untuk ikut-ikutan.
“Lo bilang ke Adrian, dong. Biar Adrian juga bilang ke Rio. Kasihan Bobby,” pinta Audy. Rio memang sering bergabung dengan Adrian dan Eza.
“Iya, deh. Ntar gue bilang,” ujar Mikha sambil melirik ke tempat duduk Adrian. Tampak Adrian tengah mengobrol dengan teman-teman di sekeliling bangkunya.
“Sudah selesai?” Tanya Bu Sari.
“Belum, Bu.” Anak-anak menjawab kompak.
“Kalau begitu jangan ribut.”
Suara-suara ribut pun berkurang, berganti dengungan beberapa anak yang masih mengobrol pelan. Namanya berdiskusi pasti butuh mengobrol, kan?
Beberapa kelompok tampak sibuk mencatat sesuatu di buku tulis ataupun kertas. Mereka tampaknya tengah membuat konsep untuk makalah yang nantinya akan diketik. Kecuali kelompok Audy yang sudah siap dengan hasil pekerjaan masing-masing.
Hasil pekerjaan Zara, Ajeng, dan Tanty sudah rapi, berupa hasil cetakan mesin printer karena mengerjakannya di komputer. Hasil kerja Audy juga sudah jadi. Pendahuluan hasil kerja Silvi sudah disetor dari sejak kembali dari Bandung. Kini ia tinggal membaca seluruhnya dan membuat kesimpulan, daftar isi, dan halaman.
Hasil ketikan memang agak sedikit berbeda. Bagaimanapun, hasil ketikan di komputer, mesin tik listrik, dan mesin tik manual tidak mungkin sama persis. Namun, spasi, margin, ukuran huruf dan kertas semuanya sama.
“Ini nanti difotokopi aja biar bedanya nggak terlalu kelihatan. Sekalian juga foto-fotonya nanti ikut difotokopi. Kita serahkan saja fotokopiannya, aslinya kita pegang.” usul Silvi.
“Setuju.” Zara menanggapi.