“Vi, gue mau ngomong sama lo.” Audy menghampiri Silvi yang duduk sendirian di bangkunya. Saat ini jam istirahat dan para siswa berada di luar, kecuali Silvi. Mikha tampak menemani Audy.
“Soal Pak Chris?” tebak Silvi.
“Apalagi?” Audy bertanya retoris.
Silvi tersenyum sinis.
“Kok, lo tega, sih? Pakai nyebar-nyebarin obrolan kita waktu itu?” Audy protes.
“Siapa yang nyebarin? Gue nggak ngomong apa-apa,” elak Silvi.
“Tapi buktinya banyak yang tahu. Gue, kan, cuma ngomong ke elo. Itu juga gara-gara elo yang mendesak gue.”
Silvi berdiri dan kini berhadapan dengan Audy.
“Gue nggak ngomong apa-apa.” Kata-kata Silvi terdengar tegas.
“Terus orang-orang tahu dari mana?” cecar Audy.
Silvi mengangkat bahu.
“Lo tahu, nggak?” Nada suara Audy mulai menyiratkan kekesalan. “Gara-gara elo ember bocor, gue jadi kena masalah. Padahal gue juga nggak pernah ngapa-ngapain.”
“Kena masalah?” Balas Silvi. “Justru skandal elo itu yang bikin masalah gue makin runyam. Sekarang, guru-guru jadi pada sangsi sama pengaduan gue. Dikira malah gue yang kegatelan. Lo tahu nggak rasanya dilecehin dan cuma bisa memendam semua itu sendirian?”
Audy dan Mikha terkejut. Jadi, benar dugaan Audy bahwa siswi “bermasalah” yang dimaksud itu adalah Silvi?
“Gara-gara elo, Dy. Sekarang semua balik nyalahin gue.” Mata Silvi tampak berkaca-kaca.
“Sumpah….” Audy tampak kebingungan. “Gue nggak tahu apa-apa soal kasus elo.”
“Terus, kalau begitu, siapa yang nyebarin soal Audy sama Pak Chris?” Mikha akhirnya ikut bicara. “Apa waktu kalian ngobrol ada orang lain?” Mikha mencoba menganalisis.
Audy dan Silvi berpandang-pandangan. Memang, sih, waktu itu tempat mereka mengobrol tampak sepi. Hanya saja … jangan-jangan memang ada orang lain?
“Rese banget, lo, Bob!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar kelas.
Audy, Mikha, dan Silvi pun bergegas keluar. Tampak Rio tengah mendorong Bobby.
“Lo belagu banget! Cuma minta jawaban aja elo nggak mau ngasih.” Rio terus mendorong Bobby. Tubuh Rio yang gendut dan besar jelas tidak sebanding dengan Bobby yang pendek dan imut.
“Gue nggak berani. Pak Steven gitu loh….”