Audy tampak gelisah di luar kelas. Ia berkali-kali melirik ke dalam. Kedua orang tuanya sedang berada di kelas karena hari ini adalah saatnya pembagian rapor. Tahun keduanya di SMP akhirnya selesai juga.
“Hei, Dy. Gimana?” Nicky tahu-tahu di belakang Audy.
“Nggak gimana-gimana,” jawab Audy datar. Meski demikian, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaannya. Tahun ini Audy lumayan banyak terkena masalah. Ia takut kalau sampai orang tuanya marah.
Tak lama orang tua Audy keluar kelas.
“Eh, Nicky. Lama nggak ketemu. Apa kabar?” Ibu langsung menyapa Nicky. Ibu memang mengenal Nicky sejak Audy masih SD.
“Baik, Tante.” Nicky mencium tangan Ibu.
“Gimana rapormu? Masih ranking satu?”
“Alhamdulillah, masih, Tante.”
“Tuh!” Ibu berkata pada Audy. “Kamu contoh Nicky, dong. Dari SD selalu ranking satu. Kamu kapan?”
Audy diam saja. Ini sebabnya ia lebih suka Ayah saja yang mengambilkan rapornya dan Ibu tidak perlu ikut. Soalnya, Ibu pasti menyinggung masalah ranking—dan Audy tidak suka. Entah kenapa kali ini Ibu memaksa ikut untuk mengambil rapor Audy.
Ibu kemudian menunjukkan secarik kertas berisi daftar nama-nama siswa yang berhasil meraih peringkat sepuluh besar di kelas. Tertulis peringkat satu dipegang Ferry, sementara Audy ada di peringkat kedua.
“Dulu kamu kalah sama Nicky. Sekarang kalah sama Ferry. Kapan kamu mau ningkatin prestasi kamu?” cecar Ibu. Nada suaranya jelas menunjukkan ketidakpuasan. Ia menyerahkan kertas itu kepada Audy.
Audy membacanya satu per satu secara berurutan: Ferry, Audy, Rini, Bobby, Dina, … Mikha?
“Eh … gue ranking enam!” Tiba-tiba Mikha sudah berada di samping Audy dan ikut membacanya.
“Gue ranking enam!” Mikha begitu girang sampai-sampai ia memeluk Audy.
“Ya ampun! Nggak nyangka banget. Seumur-umur baru kali ini masuk sepuluh besar, kayaknya gara-gara gue ketularan elo sama Dina.” Mikha lalu menoleh dan dilihatnya seorang wanita berusia empat puluhan di belakangnya. “Ma! Aku ranking enam lho!”
Wanita itu langsung semringah. “Oh, ya? Wah! Hebat kamu!” puji wanita itu yang ternyata ibu Mikha.
Audy tersenyum getir melihat pemandangan kontras antara dirinya dengan Mikha dan ibunya.
“Tapi yang penting aku naik kelas, kan?” Audy bertanya balik pada orang tuanya.
“Kalau naik kelas, itu sudah pasti. Kenapa kamu, kok, sampai berpikir tidak naik kelas?” tanya Ayah.
Audy tidak menjawab. Ia teringat pada mata pelajaran Bimbingan Karier yang tidak disukainya itu. Ingat, kan, Bu Wati pernah mengancamnya tidak naik kelas jika tugasnya tidak selesai? Untunglah Audy berhasil menyelesaikannya tepat sebelum pekan ulangan umum dimulai. Lebih dari itu, Audy kini merasa sudah punya cita-cita dan tujuan.
“Anak selevel kamu itu mikirnya udah bukan lagi naik kelas atau tidak. Tapi rankingmu urutan berapa, NEM-mu nanti berapa, bisa masuk SMA unggulan tidak?” Ibu kembali mencecar.
Audy pun kembali terdiam.