Sepenggal Kisah dari SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #39

Epilog

“Hai, Audy! Datang juga, lo.” Alex langsung menyapa begitu ia melihat Audy muncul di pintu kelas.

“Iya dong. Mosok nggak datang,” jawab Audy yang langsung menghampiri Alex yang duduk di tengah baris kolom kedua dari pintu.

Beberapa hari yang lalu, Alex memang mengirim pesan ke pager Audy untuk menginformasikan bahwa para pengurus OSIS akan melakukan penyegaran seminggu sebelum dimulainya tahun ajaran baru.

Alex sendiri akhirnya terpilih sebagai ketua OSIS. Ia pun kembali mengajak Audy untuk bergabung—karena ia yakin Audy termasuk salah satu yang memilihnya. Hanya saja, lagi-lagi waktu itu Audy tidak bisa memberikan jawaban karena fokusnya hanya akademis. Audy tidak berani meminta izin pada Ibu—sejujurnya.

Meski demikian, Alex seakan begitu gigih mengajak Audy. Akhirnya, selepas pekan ulangan umum, Audy pun memberikan nomor pager-nya kepada Alex dan minta diinformasikan jika ada kegiatan OSIS yang memerlukan bantuannya. Audy sendiri masih belum yakin untuk bergabung, tetapi menyatakan bersedia membantu jika memungkinkan.

Audy memang mendapatkan pager dari Ayah. Alasannya, agar Ayah bisa lebih memantau Audy yang kini sudah semakin dewasa. Sebenarnya, sih, karena Ayah merasa khawatir gara-gara insiden perkelahian antara Audy dan Rio. Juga fakta bahwa Audy mulai tertarik pada lawan jenis. Wajar saja. Ayah mana, sih, yang tidak mengkhawatirkan anak gadisnya?

Selain itu, pikir Ayah, Audy juga mungkin membutuhkan alat komunikasi agar tidak ketinggalan informasi dari teman-teman sekolahnya. Bagaimana, ya? Sampai detik ini, telepon masih belum juga masuk ke perumahan tempat tinggal mereka. Iya. Di tahun 1995! Entah apa yang salah padahal pengajuannya sudah diurus oleh para ketua RT sejak lama. Namun, hingga kini baru ada telepon umum yang tersebar di beberapa sudut kompleks. Ayah melihat Audy tidak punya banyak teman. Masa sejak kelas lima SD teman yang pernah dikenalkan Audy hanya Nicky dan Mikha?

Audy tentu saja senang mendapatkan pager. Setidaknya itu bisa menjadi modal untuk menambah pergaulan. Bosan juga lama-lama menjadi anak kuper. Bagaimana tidak kuper? Rumah jauh dari sekolah sehingga ia tidak punya banyak teman di sekolah. Sementara, hubungan Audy dengan teman-teman di lingkungan rumahnya juga berkurang karena waktu banyak tersita di perjalanan antara rumah dan sekolah. Teman-teman dekatnya paling hanya “Geng Liburan” dan itu pun sudah bubar sejak kepindahan Om Jody. Dengan adanya pager, setidaknya ia bisa meminta teman-temannya untuk menghubunginya. Jadi, ia tidak akan ketinggalan informasi.

Pager Audy sendiri bentuknya juga keren: mungil seukuran genggaman tangan dengan warna biru muda terang. Berbeda dengan pager milik Ayah yang agak besar dan berwarna hitam. Pager kecil warna-warni memang sedang tren. Iklannya sering berseliweran di MTV dan stasiun televisi swasta lainnya. Pager jenis itu juga menyediakan layanan rutin informasi hiburan dan kabar terbaru artis idola. Bahkan, gara-gara pager tersebut, Audy jadi tahu kalau bulan Oktober nanti Take That akan konser di Jakarta! Meski Audy tidak yakin apakah akan menontonnya.

“Seperti yang lo juga udah tahu, di kelas tiga kita bakalan digenjot habis-habisan untuk EBTANAS. Tapi di sisi lain OSIS, kan, harus jalan juga. Makanya, biar nggak ketinggalan pelajaran, kita mau refresh dulu biar nggak terlalu kaget pas nanti kelas tiga dimulai,” jelas Alex.

Audy mengangguk-angguk.

“Ini sebenernya inisiatif anak-anak OSIS yang kelas tiga aja, sih. Tapi terbuka juga kalo yang bukan pengurus OSIS mau ikutan.” Alex kembali menjelaskan.

“Oh. Oke.” Audy menjawab pendek, kemudian duduk di samping Alex. Matanya lalu menyapu seisi kelas. Hanya ada segelintir siswa di kelas itu. Kebanyakan memang pengurus OSIS. Eh … bahkan rasanya hanya Audy seorang yang bukan pengurus OSIS. Mikha dan Nicky saja tidak ada. Iya lah! Memangnya, siapa yang libur-libur begini mau datang ke sekolah, untuk membahas pelajaran pula?

Eh ... tapi kenapa Audy malah mau-maunya datang ke sekolah, sih? Kan, rumahnya jauh. Dan sebelumnya, bukankah Audy tidak suka jika liburannya terganggu?

“Selamat pagi, Anak-anak. Cuma segini, ya?”

Sebuah suara langsung membuat Audy tersentak. Pak Chris sudah datang rupanya.

“Ini pengurus OSIS aja, Pak.” Alex yang menjawab.

“Iya. Tidak apa-apa. Justru saya senang dengan inisiatif pengurus OSIS. Berorganisasi itu perlu, belajar juga perlu. Dengan kegiatan seperti ini, mudah-mudahan nanti kalian bisa menjalankan OSIS dengan baik tanpa ketinggalan pelajaran juga.” Pak Chris melempar senyum ke seisi kelas.

Audy memperhatikan Pak Chris dari tempat duduknya. Dalam hati ia merasa senang. Akhirnya, ia merasakan lagi diajar Pak Chris.

Pak Chris memulai pelajarannya. Materinya adalah tentang cahaya. Dan kali ini bahasannya adalah tentang kecepatan cahaya. Kecepatan cahaya disimbolkan dengan huruf kecil “c” yang artinya “constant” atau “konstanta”. Adapun nilainya adalah 300.000 kilometer per detik, atau 300.000.000 meter per detik, yang merupakan kecepatan maksimum di ruang hampa.

Konstanta atau “c” ini muncul pada rumus kesetaraan energi dan massa yang dikemukakan ilmuwan Albert Einstein.

“Rumusnya adalah E=mc2, di mana energi sama dengan massa dikalikan kuadrat kecepatan cahaya.”

Pak Chris masih menerangkan materi. Para siswa pun sibuk memperhatikan. Termasuk Audy yang kali ini tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada guru favoritnya itu.

“Eh….” Tiba-tiba Alex mencolek.

Audy pun menoleh. “Apa?” bisik Audy, lalu kembali menatap ke depan kelas.

“Gue denger gosip lo sama Pak Chris … itu beneran?” tanya Alex, sambil berbisik juga.

Ha? Audy kembali menoleh. Sorot matanya tampak terbelalak karena terkejut.

“Jadi … beneran?” Alex memperjelas pertanyaannya.

“Menurut lo?” Audy menjawab tak acuh, lalu menatap ke depan lagi.

“Ya … makanya gue mau konfirmasi,” bisik Alex.

“Nggak usah dibahas.” Audy menjawab dengan berbisik tetapi dengan intonasi sedikit menekan, pertanda tidak suka dengan pertanyaan Alex barusan.

“Berarti beneran, ya?” Alex masih gigih.

“Apaan, sih?” Audy menoleh. Suara Audy kini agak keras. Tampaknya ia mulai kesal.

Alex pun terkejut dengan reaksi Audy. Dan semakin terkejut ketika mendapati sepotong kapur tiba-tiba mendarat di meja. Kali ini, Audy ikut terkejut juga.

“Tolong jangan mengobrol kalau guru sedang menerangkan!” Terdengar suara tegas Pak Chris.

Alex dan Audy pun menatap ke depan. Tampak Pak Chris tengah menatap tajam ke arah keduanya. Bukan hanya Pak Chris, sih. Seisi kelas juga menoleh ke arah Alex dan Audy.

Lihat selengkapnya