SEPEREMPAT ABAD

Fiska Esi
Chapter #6

Kacau

Aku menatap langit langit kamarku. Membayangkan ulang kejadian yang telah terjadi hari ini sambil merebahkan badan di kasur ku yang satu satunya selalu bersahabat tak pernah pergi sehebat apapun tangisanku. Cukup melelahkan, meski aku tak pernah berkata begitu. 

Hampir 25 tahun aku menghirup nafas, baru kali ini aku merasa benar-benar kesepian. Biasanya teman- temanku akan bertanya keadaan jika raut wajahku sudah tak biasanya. Apalah, kini cuma memori kecil yang masih tersisa.

Aku mencoba mengetik kata halo di layar ponsel ku, sudah diketik, namun kuhapus. Begitulah, hingga terulang beberapa kali baru aku yakin mengirimkannya ke beberapa orang.

Entah kenapa rasanya rindu sekali dengan mereka. Mereka yang hadir dalam keseharianku, mengulurkan tangan lebih dulu, kini entah seperti apa mereka, apakah juga menahan rindu atau hanya aku sendiri yang menahan pilu. 

Udara dari jendela kamar yang masih terbuka menambah rasa sepiku malam ini. Jika besok tak ada hasil, mungkin ini awal hancur karirku.

Seperti terkesan tak pernah gagal, rasanya malam ini aku tak ingin memejamkan mata. Padahal gagal lebih sering menyapa sebelumnya. Benar kata orang, ketika kita kecil kita ingin dewasa sementara kitadewasa justru ingin kembali kecil karena tak pernah sakit merasakan luka. Benar, malam ini aku baru sadar, senyumku tadi hanya upaya ku menyembunyikan kecemasanku. 

Air mataku menetes tanpa sengaja. Aku ambil foto keluarga yang terpajang di samping tempat tidur. Andai saja bapak bisa dihubungi. Pasti orang pertama yang akan menenangkanku adalah beliau, yg pelukannya hangat lebih dari siapapun.

Notifikasi pesan memecahkan dimensi khayalan ku yg sedang bergerak jauh mengingat ayah. Ya, ayah bekerja entah beberapa tahun ini tak pernah pulang. Tak bisa dihubungi sampai detik ini. Entahlah, ibu pun selalu diam jika aku bertanya.

"Fay, jangan dipikirkan, semua akan baik - baik saja".

Ternyata pesan tersebut dari mas Gusti. Orang yang baru saja mengungkapkan perasaannya padaku. Meskipun semua orang hampir menyukainya, aku justru hanya menyimpan dia sebagai orang bijak yang berkharisma yang memang patut untuk dihormati. 

Aku hanya membaca pesan tersebut. Mataku tak mau mengantuk, seolah rasa sepi ini merengek untuk ditemani. Semua yang terjadi hari ini membuatku sadar, bahwa benar adanya, makin dewasa, sepi itu memang akan mendekat. 

Tahun lalu aku dan teman2ku masih berkumpul, menceritakan lelahnya pekerjaan, lelahnya situasi apapun, telepon group, dan hal seru lainnya agar kita sama sama tak merasa sepi. Nyatanya 3 bulan yang lalu mereka semua menghilang, tak ada kabar satupun. Ku pikir mereka sibuk, atau memang banyak hal yang mereka kerjakan hingga tak sempat membalas pesan ku. Tapi entahlah, mungkin mataku harus terbuka lebih lebar, hatiku harus lebih tegar, bahwa yang katanya sama sama sampai kapanpun hanya akan jadi cerita yang faktanya juga tergerus masa dan realita.

Kucoba melihat ponsel ku, melihat pesan yang sudah kucoba kirim dengan ketikan yang berulang kali disiapkan. Ternyata hanya tanda baca biru yang terlihat, tanpa balasan. Jelas hal itu menggiring opiniku untuk berkata hah sibuk sekali, sampai aku bukan prioritas mereka.

Padahal jelas saja, aku ingin bercerita, meminta pendapat kepada mereka apa yang harus aku lakukan. Bukan! Jelas bukan aku tak bisa memutuskan, aku hanya ingin berdiskusi, sambil melepas rindu dihati dan juga bersilaturahmi. 

Apa yang terjadi saat ini membuatku kesal. Kuputuskan membuka sosial media. Orang - orang yang aku butuhkan untuk mendengar, mereka ternyata terlihat bahagia dengan dunianya. Kesal sih, tapi ya sudahlah, mungkin memang berteman denganku tak menarik lagi.

Lihat selengkapnya