"Keluarga pasien Zifaya? Mohon untuk bertemu dokter sebentar." Ucap perawat sambil melihat ke arah Akbar.
Akbar yang mendengar hal tersebut langsung menghampiri dokter.
"Saya Akbar dok, sahabat pasien, kebetulan pasien tadi menelpon saya saat saya menuju ke tempatnya, saya melihat dia sudah pingsan."
"Apa pasien ada riwayat asma dan gangguan pencernaan? Kalau iya dia telat makan, dan juga banyak pikiran, sehingga asam lambung nya dan alerginya kambuh, terlebih kandung zat besi Zifaya rendah sekali. Dia harus banyak-banyak istirahat."
"Baik dok, kalau begitu nanti saya sampaikan."
"Sebaiknya jangan banyak pikiran. Dan saya putuskan untuk memasang infus dulu. Nanti malam boleh pulang."
Akbar yang mendengar hal itu sedikit penasaran apa yang terjadi denganku. Aku mulai terbangun dari pingsanku tadi. Sudah lama tidak sakit seperti ini, malah terjadi lagi karena semuanya diluar kendali.
"Bar, maaf gue ngerepotin lu, lu yang bawa gue kesini?" Tanyaku dengan suara bergetar. Kondisiku saat ini sangat lemah dan selang infus yang menempel di tangan kiri. Tak hanya itu bernafas pun aku perlu bantuan oksigen.
"Lu istirahat aja, gue temenin sampe lu pulang, lu tadi mau pergi kan? Ada apa sih sampe kek gini lagi. Bukannya terakhir lu begini gara - gara gue dan Zaki ya? "
Aku hanya terdiam, air mataku mengalir begitu saja. Bagaimana caranya mengabari Ibu dalam kondisi seperti ini. Benar, kondisi seperti ini pernah terjadi beberapa tahun silam. Lemah! Aku begitu lemah, dulu aku menangisi hal bodoh yang namanya cinta hingga kesehatanku menjadi korban dan kini aku mengulanginya lagi. Diberhentikan tanpa keterangan jelas.
Sebagian orang akan menganggapku lemah, namun percayalah, kegagalan seperti ini rasanya menyakitkan, terlebih yang namanya pekerjaan itu berhubungan dengan penghasilan. Jelas saja penghasilan sebagai sumber kekuatan untuk mencukupi kebutuhan sehari - hari.
"Bar, gue ga berguna, gue nyusahin orang terus, gue cuma bisa ngerugiin orang lain." Ucap ku pelan.
Akbar hanya memperhatikanku, tidak menanggapi perkataanku. Setelah itu ponsel Akbar berbunyi, kesadaranku mulai berkurang efek obat yang disuntikkan perawat kedalam selang infus.
"Iya nanti gue transfer uangnya, lu butuh 45 juta kan? Sabar dong sayang, aku juga lagi usahain. Aku sayang kamu tapi bentar yaa, aku lagi ada urusan."
"Pokoknya kalau ga ada uangnya kamu ga boleh nikahin aku."
Panggilan terputus, namun aku tak begitu mendengar percakapan Akbar dengan orang yang sepertinya kekasih Akbar. Mataku terlalu berat hingga aku mencoba memejamkan mata. Benar saja, efek obat tersebut tidak perlu menunggu lama. Aku langsung tidur dibuatnya.
Matahari sudah pamit dari tugasnya. Hari sudah mulai gelap. Aku sudah terbangun dari tidurku. Tampak juga perawat yang datang untuk melepaskan selang infus.
"Bar tadi gue mimpi deh kayaknya. Ada orang minta maaf sama gue, sambil genggam tangan gue. Siapa ya?"