Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Aku bersiap untuk acara hari ini. Pastinya aku menghadiri acara reuni ini untuk mencari hiburan sebagai pelepas penat dari kejadian beberapa hari ini. Aku berangkat dengan ojek online. Butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk menuju kafe tersebut. Mengingat nanti sore ada acara, aku tak bisa berlama - lama.
Suasana kafe sudah cukup ramai ketika sampai disana. Tampak Lala dan Jennie sudah menunggu keberadaanku. Mereka menyambutku dengan heboh.
“Fayaaaa, sinii.” ucap Lala dan Jennie sambil melambaikan tangan. Aku pun menghampiri mereka dan suasana menjadi heboh seketika
“Yaampun aku kangen banget sama kamu, kamu kenapa ga baca wa aku semalam? “ Ucap Lala.
“Hello, gue yang ngehubungin kalian kali, TAPI ga ada balasan, kalian berdua itu yaa makhluk paling sombong dimuka bumi.” celetukku dengan ketus.
“Maafin kita dong Faya.” ucap Jennie sambil mencubit pipiku.
Aku hanya tersenyum.
“Loh Fay, lu baik baik aja kan ? kok makin kurus? itu tangan kenapa ? kok ada bekas infus?” ucap Jennie.
Seketika Lala memperhatikanku. Mereka lalu mengintrogasiku seolah aku melakukan kesalahan. Aku mencoba menahan diri agar tidak larut emosi dengan ucapan mereka.
Seiring berjalannya waktu banyak teman - teman lain yang baru hadir. Kami memilih untuk duduk di round table paling depan. Sesekali lidahku mengikuti lagu yang dimainkan.
Lewat radio, aku sampaikan, kerinduan yang lama terpendam.
“Lagu sheila on 7 gak pernah bosan didengar ya?” ucap Lala sambil menikmati cemilan yang tersedia.
“Eh iya gue punya sesuatu buat kalian.” ucap Jennie yang mengeluarkan kertas yang sepertinya undangan pernikahan.
“Iya gue juga ada nih, Jennie juga udah tau soal ini. Maaf ya Fay gue belum kasih tau lu kalau gue dan Jennie mau nikah. Kebetulan hari pernikahan kita selisih seminggu.” ucap Lala dengan ekspresi bersalah.
Ekspresiku seketika berubah. Seperti orang bodoh yang sedang dibodohi teman - temannya. Pantas saja Pak Nur memecatku, karena aku bodoh sekali. Wanita lemot. Tak berpenghasilan, tak jelas kemana arah masa depannya Aku bergumam mengutuk diri sendiri akibat tak tahu jika kedua sahabat ku ini akan menikah. Padahal apa susahnya memberi tahu. Mereka tinggal dikota yang berbeda saja saling mengetahui, kenapa aku tidak.
“Woi bengong bae, kita berdua mau merid nih. Lu kapan Fay?” ucap Jennie.
“Eh maaf, itu bandnya bagus banget. Oh lu berdua mau merid yak ? Selamat gengs! Semoga dipermudah. Kenapa ga diumpetin sekalian kalau gue baru lu kasih tau?” ucapku yang kesal karena pikiranku tak bisa diajak kompromi.
“Lu ga tanya siapa calon suami kita Fay?” ucap Lala mencoba mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia tau kalau aku kesal karena paling tak tau rencana pernikahannya.
“Kalau gue sih cowok tampan, tajir. Dia ngelamar gue dikapal malam hari, indah banget deh Fay.” ucap Jennie sambil membayangkan moment lamarannya.
“Gue sih, ga setajir Jennie, cuma abang - abang pemilik properti. Kebetulan propertinya banyak banget di Surabaya sana.” ucap Lala ga mau kalah dengan Jennie.
"Lu sendiri kapan? Nikahlah, udah kerja empat tahun tabungan pasti banyak dong. Apalagi sih yang lu kejar Fay? Jangan muluk-muluk nanti keburu tua." Ucap Jennie
“Alhamdulillah kalau kalian sudah dipertemukan. Semoga kalian semua langgeng, dilancarkan yah. Eh gue ke toilet dulu yaa, gue nitip Tas bentar.” ucapku sambil beranjak dari tempat duduk.
Aku bergegas menuju toilet. Ternyata memilih untuk menghadiri acara ini adalah suatu kesalahan. Tisu gulung yang ada di dinding toilet menjadi pelampiasan pusat kemarahanku. Aku menariknya lalu mencabik - cabik agar emosiku tersalurkan.
“Nikah kata lu? gue harus nikah? jangan terlalu tua nikahnya nanti susah loh, ah ucapan macam apa itu!” ucapku tanpa suara.
Hampir seluruh tisu gulung yang ada ditoilet itu habis karena ku robek untuk melampiaskan kekesalan. Ternyata membuang tisu toilet tidak mengurangi kesalku. Sama saja rasanya. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke meja tempat kami bertiga duduk.
Perjalanan kembali ke Toilet, aku mendengar beberapa cerita teman - teman yang sedang asik membicarakan kehidupannya.
“Eh aing mah ya, mau beli tanah, kira - kira harga tanah berapa ya?” ucap seseorang disudut ruangan yang tak jauh dari pintu toilet.
“Gilaaaa, udah mau beli tanah aja ya maneh mah. Kalau kamu teh udah dapet apa aja?”
“Aku mau mau naik pangkat nih, untung udah naik pangkat, setidaknya ga akan kena PHK kalau Jabatan udah tinggi gini.” ucap lainnya yang tak mau kalah.
“Doain aku yo, aku minggu ngarep arep rabi. Akhire ga sepi awakku rek.” ucap kawan lainnya yang dari logatnya tampak dia orang jawab.
Meskipun begitu, seharusnya aku tidak membandingkan pencapaian mereka terlebih mereka adalah laki - laki dan aku seorang wanita. Kehadiranku disini benar - benar sebuah kesalahan. Mereka sudah mencapai pencapaiannya masing - masing. Sementara aku? Cuma seorang wanita bodoh yang tak tau akan dibawa kemana kehidupannya. Rumah masih bersama orang tua, bisnis baru dirintis, diberhentikan dari perusahaan tanpa alasan jelas menandakan hidupku tidak berkualitas. Untuk apa aku disini kalau hanya mengutuk ketidakmampuanku? Sungguh Aku tidak pernah melihat acara ini sebagai sebuah reuni tetapi sebagai pisau untuk menusukku secara perlahan.
Keringatku mulai bercucuran. Aku berusaha untuk bertahan agar orang - orang tak curiga denganku. Tak hanya itu, aku berusaha menghindari orang - orang untuk mempertanyakan pekerjaanku. Karena aku sering mengalihkan kondisiku, jelas pastinya cerita mereka makin membuatku cemas, insecure, hingga membandingkan diri sendiri. Rasanya berat sekali. Sampai - sampai tenggorokanku terasa kering, badanku semakin lemas.
“Hoi, seru banget kayaknya, ngomongin apa nih?” ucapku setelah mengejutkan Jennie dan Lala.
“Lu baik - baik aja kan Fay?” tanya Lala, dengan raut wajah merasa bersalah.
“Eh gue? gapapa kalik, aku baik - baik aja. Kenapa memang ?” ucapku yang berusaha tenang agar mereka tak curiga.
“Kalau ada apa - apa cerita ya, jangan sungkan minta bantuan sama kita.” ucap Jennie mencoba menenangkanku.
Aku hanya mengangguk membalas ucapan Jennie. Jangan sungkan kalian bilang. Hah, jangan sungkan apanya pesanku saja diabaikan, rencana pernikahan kalian saja aku tak tahu. Kesal tidak terkira rasanya. Semua yang kalian ucapkan hanya basa - basi yang sudah basi.
Kakiku terus bergetar tanda tak nyaman. Keringatku pun mulai bercucuran. Dadaku mulai sesak, jantungku berdebar lebih kencang, perutku pun mual tanda aku tak menikmati suasana ditempat ini. Terlebih pikiranku tak dapat dikontrol. Bergumam dalam hati pun tak kunjung terhenti. Dasar Faya, seperti tidak bersyukur, tapi tidak dapat dipungkiri rasa cemasku mengalahkan akal sehatku.
Kondisi fisikku makin tak terkontrol. Seumur hidup baru kali ini aku merasa cemas berlebihan tidak terkira. Baru saja tadi pagi Mas Gusti berhasil menghiburku, kini malah rasa cemas itu kembali tanpa permisi.
Suasana diluar ruangan cukup mendung seperti mewakili isi hatiku yang sedang rumit tidak menentu. Karena sudah tak nyaman dengan situasi, aku memutuskan untuk pamit duluan dengan alasan akan ada acara kantor dikantor Ibu.
“Ehemm, guys, gue pamit dulu yaa? Ibu udah nyuruh pulang nih soalnya udah jam 4. Mau siap - siap acara kantor emak gue nih.” ucapku sambil beranjak dan berdiri dari tempat duduk.
“Yahh gitu banget yaa, cepet amat, yaudah kalau ada apa - apa kabarin yaa ?” ucap Jennie dan Lala sambil memelukku bergantian.
“ Assalamualaikum daa.” ungkapku pelan sambil melambaikan tangan.
Belum jauh aku pergi ternyata mereka membicarakanku. Mulai dari penampilan, tubuhku yang makin kurus karena sakit mereka bicarakan. Dan itu masih terdengar ditelingaku. Aku hanya menghela nafas panjang. Sedikit tidak menyangka, orang yang aku agung - agung kan dengan sebutan sahabat nyatanya dia yang paling jahat.
Aku bergegas menuju pintu keluar. Suara samar - samar keberhasilan atas pencapaian orang - orang membuatku semakin cepat keluar dari kafe ini.
“Eh Faya?” ucap beberapa orang yang hendak masuk kedalam kafe.
Eh iya, aku mencoba mengingat siapa saja yang menyapaku..
"Loh kok kamu kurusan banget sih? Eh kenalin ini suamiku." ucap seorang kawan..
"Oh iya saya Faya. Baru Dateng ?? Maaf temen- temen aku ga bisa lama-lama. Mau ada acara habis ini sama emak nih. Daa"
Aku segera bergegas meninggalkan kafe itu. Sungguh benar - benar tidak nyaman sekali berada ditempat ini. Meski kesepian dan ingin bertemu teman, tapi ternyata itu bukan pilihan yang tepat. Moodku hancur, perasaanku insecure. Sungguh aku sangat tidak percaya diri setelah dari sini.
Taksi online yang kupesan langsung mengantarku ke rumah. Namun, hujan deras dan macet nya jalanan, membuatku terjebak hingga sedikit telat sampai dirumah.
Bau khas hujan yang masuk ke dalam mobil begitu sejuk dan enak dihirup saat jendela belum tertutup rapat. Macetnya jalanan membuatku melamun sambil menikmati embun hujan yang menempel dikaca mobil.
Karena bosan menunggu, aku mengambil headset sambil mendengarkan lagu fourtwenty. Lagunya cocok sekali dikala hujan. Sesekali aku membayangkan wajah bapak.
"Bapak, Faya harus bagaimana?" Gumamku dalam hati.
Macet sungguh tidak terkira mengurung kami dijalanan. Aku hanya memutar - mutar lagu yang bisa mewakili isi hatiku.
***
Aku tiba dirumah dengan cuaca yang masih gerimis. Begitu aku sampai dirumah, aku terkejut melihat keberadaan Bapak.
"Bapak?" Ucapku tersentak karena terkejut tidak percaya.