Mobil Farah mendarat di rumahku tepat pukul satu siang. Dikarenakan ada keperluan, Farah langsung bergegas melanjutkan perjalanan tanpa mampir terlebih dahulu. Sesampainya dirumah, tampak Ibu kesal denganku karena pergi tidak pamit. Sementara tampak Bapak yang sedang duduk disofa sambil menikmati segelas kopi.
“Kamu dari mana? kenapa kamu baru pulang.” ucap Ibu dengan suara penuh kesal, dan nada tinggi.
“Apa peduli Ibu denganku?? kalau ibu peduli, tidak akan pernah semua ini terjadi.” ucapku kesal.
“Sejak kapan kamu membangkang nak?” ucap Ibu.
“Hah sejak kapan apa Ibu bilang? Ibu ini lupa atau bagaimana? aku pergi tanpa bilang ibu marah seolah aku pencuri di rumah ini. Faya tanya sama Ibu, siapa pencuri dirumah ini? Siapa Bu??” jawabku dengan suara lantang. Entah setan apa yang merasukiku, sampai berani membentak Ibu. Sementara bapak hanya diam melihat pertengkaran kami karena jelas Ibu yang salah.
“Bu, Ibu marah terhadapku seolah Ibu paling benar, apa Ibu tidak memikirkan perasaanku? Aku kehilangan pekerjaanku, bisnis yang telah aku rintis gagal, aku ditipu puluhan juta, dan sekarang aku punya kenyataan bahwa Ibu dan Bapakku bercerai tanpa sepengetahuanku atas dasar pembelaan kondisiku yang lemah. Faya ga minta dilahirkan Bu, Allah yang ngasih Faya ujian dengan sakitnya Faya, Bapak udah melarang Ibu tapi Ibu tetap lakukan. Di saat ada orang baik yang ingin menikahiku, justru ibu menolak dan menjatuhkan Faya terlalu jauh. Kalau ga ada masalah ini harusnya Faya udah menikah bu. Faya capek sendiri ini itu. Selama ini Faya selalu diam, Faya ga pernah peduli kalau faya belum dipertemukan dengan jodoh Faya, tapi mendengar hal kemarin, rasanya sakit Bu. Bertahun - tahun hal ini disembunyikan, dan Faya baru tahu sekarang. Jika suatu saat Faya gagal bangkit, orang pertama yang akan Faya salahkan harusnya Ibu!” ucapku membentak Ibu.
“Faya, jaga bicaramu, bagaimanapun dia Ibumu nak, kalau kamu ketipu, kamu bisa ikut bapak nak. Soal jodoh semua udah Allah yang ngatur, isitghfar nak istighfar. ucap bapak mendekatiku.
Ibu hanya menangis mendengar ucapan ku. Tidak ada rasa sesal atas ucapanku sendiri. Aku hanya menahan amarah, amarah yang dari semalam ku tahan. Air mataku pun megalir begitu saja. Tak hanya itu ketika aku menghempaskan diriku ke sofa, tiba - tiba Tante Irma, dan Rama datang.
“Ya ampun, ini komplit ya keluarganya. Faya, gimana, kamu udah mau menikah? kalau belum ada jodoh bisa sama adek tante kok. dia ganteng, tajir.” ucap Tante Irma tanpa rasa bersalah.
“Siapa yang nyuruh tante masuk? ini rumahku, bisa kan beri salam dahulu?” ucapku dengan lantang. Aku tidak peduli sedang berbicara dengan siapa. Pastinya aku benar - benar tidak bisa menahan amarahku.
“Kamu tuh anak kecil, ga ada sopan - sopan nya ya? Pantes, kamu dipecat. HAhaha. Oh iya kalau gitu kamu harus tahu sekarang, Ibumu itu simpanan Papah aku loh.” ucap Tante Irma.
“Oh iya, lalu kalau memang simpanan Papa kamu, aku harus apa ? harus menikahi adikmu?” ucapku membantah Tante Irma. Seketika Bapak dan Ibu terkejut mendengar ucapanku karena aku tidak pernah semarah ini.
“Baguslah kalau kamu sudah tahu, kalau begitu kan kamu ga perlu dibohongi lagi. Kalau ga karena papamu itu, kamu udah mati dari dulu kurang darah.” ucap Tante Irma yang tidak mau kalah.
“Apa mau kalian?” tanyaku singkat.
“Nyalimu benar - benar tinggi ya, menantang sekali untuk jadi bagian keluarga kami. Hai selingkuhan Papa, kemarikan sertifikatnya.” ucap Tante Irma tanpa menghormati Ibuku sedikitpun.
“Tunggu dulu, ini rumah milikku, kau tidak boleh mengambilnya sembarangan.” ucap Bapak.”
“Oh iya ? milikmu? milik seorang suami yang tak berdaya? begitu kah?” ucap Tante Irma dengan tawanya yang licik.
“Kau lihat Lina, seperti apa dia memperlakukan anakmu?? Iya aku memang tidak berguna, tapi setidaknya caraku tidak pernah licik, hidupku tidak melulu tentang uang sepeti kalian.” ucap Bapak dengan marah. Bapak tahu jika melawan perempuan tidak akan pernah ada habisnya.”
“Lalu mau kalian apa?” tanya om Rama suami wanita menyebalkan itu.