Aku tiba disalah satu rumah sakit yang ada di kota kecil namun sudah ada pasien penderita covid dikota itu untuk memberikan masker dan juga Hazmat serta beberapa handsainitizer. Setelah membagikan kebeberapa rumah sakit, aku memutuskan untuk berpisah dengan rombongan dan pamit ke Bang Ahmad.
Hari ini sudah hari ke 5 aku meninggalkan rumah sekaligus hari terakhir kami berbagi dengan komunitas berbagi bersama. Aku tidak mengaktifkan nomor yang biasanya kugunakan. Hanya Lala, Jennie, dan Sabrin yang ku berikan kabar nomor baruku. Dengan rasa optimis yang ada, aku mencoba mengerahkan seluruh bakat dan keahlian yang aku punya untuk bertahan hidup. Sebab karena himbauan pemerintah, orang - orang sudah melakukan sistem work from home dan menutup lowongan karena menjaga perputaran keuangan.
Aku mencoba membuka jasa desain dan juga animasi serta membuat akun instagram yang berkaitan dengan desain grafis dan juga animasi. Ternyata tidak semudah itu merintis semuanya sendiri meski aku memiliki ilmunya. Aku mengorbankan uangku hampir 2 juta untuk biaya promosi berbayar dengan ads instagram maupun facebook. Namun lagi - lagi aku gagal. Begitulah yang terjadi setiap hari selama beberapa minggu hingga persediaan uangku tinggal tiga ratus ribu. Untungnya aku sudah membayar biaya kos untuk beberapa bulan kedepan, dan biaya kos di kota ini tidak begitu mahal.
TUNG!
“Gaess, mohon doanya ya, pernikahan aku dan Lala, ga ada resepsi mengingat pandemi yang pasiennya makin bertambah. Mohon maaf jika kurang berkenan. ucap Jenni di grup whatsapp.
‘Hah, Jennie dan Lala hanya mengabarkan via grup?” ucapku kesal. Aku putuskan untuk mencari mereka berdua di grup yang isinya hanya kami bertiga.
“Lala Jennie, yang sabar yaa. Peluk. Aku hanya bisa mendoakan semoga pernikahan kalian lancar berkah.” ucapku di grup tersebut.
Aku amati beberapa saat setelahnya grup itu hanya dibaca oleh mereka. Hal itu membuatku tertawa kecil. Sebegitunya kah kalian denganku? Aku hanya bergumam sendiri karena kesal.
Sebenarnya temanku bukan hanya mereka saja, ada Hani, Desi, Sari dan yang lainnya yang justru masih sering berkomunikasi sebelum pandemi. Dengan kondisiku yang sekarang, aku mencoba menghubungi mereka untuk meminjam sejumlah uang. Namun, sepertinya aku memang sedang di uji. Tak ada satupun mereka yang membalas pesanku, hanya sebuah tanda centang biru yang terpampang di layar ponselku. Hal itu membuatku makin stress. Aku hanya menangis, pusing dan makin sakit kepala untuk biaya kehidupan sehari - hari.
TUNG!
Lamunanku dikejutkan dengan sebuah dering tanda pesan whatsapp masuk keponselku yang ternyata dari Sabrin.
“Hei Fay, maaf baru bales, gue bisa kok minjemin lu duit. Lu butuh berapa ?” ucap Sabrin. Pesan Sabarin mebuatku tertawa kecil.
“Huaaaaa, Beb terimakasih, lu mah penyelamat hidup gue terus dari dulu. Gue mau pinjem 15 Juta ada?” tanyaku balik. Sebetulnya jumlah itu hanya untuk berjaga - jaga.”