SEPEREMPAT ABAD

Fiska Esi
Chapter #18

Tentang Melamar

Bendera kuning terpampang di depan rumah. Orang - orang tampak ramai dengan tenda dan kursi yang berjejeran. 

“Loh Pak, ada apa ini? siapa yang meninggal?” tanyaku kepada salah seorang tetangga.

“Ibu Lina mbak.” ucapnya pelan.

Aku langsung berlari, mencari jenazah Ibu di ruang utama.

“Bu, maafkan Faya, Faya gagal ngebahagiain Ibu. Bangun Bu! Bangun!” seru ku sambil menggoyangkan jenazah yang sudah tertutup dengan selendang batik. 

Aku hanya menangis disamping jenazah Ibu, menyesali keterlambatanku kembali kerumah. Tak lama setelah itu, mataku berkunang - kunang. Tubuhku lemas dan akhirnya aku pingsan. Tak lama setelahnya seseorang membawaku ke kamar dan mencoba membangunkanku. 

“Mbak Faya! Mbak? Mbak?”

Hah! Ternyata aku tertidur, dan itu hanya mimpi. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk shalat Istikharah. Meminta petunjuk atas apa yang aku lakukan disaat aku merasa tidak berguna dan jumlah uang yang tersedia semakin menipis. Beberapa saat setelah itu, aku mencoba mencari pekerjaan freelance yang berkaitan dengan keahlianku. Entah kenapa aku merasa ada panggilan untuk mencobanya. Setelah melengkapi data diri di salah satu situs freelance, aku melanjutkan untuk mengoptimasi akun edukasi yang sudah kubuat. Menata kembali. Aku benar - benar pasrah. Disaat seperti ini teman itu cuma status. Hanya ada beberapa yang terlihat tulus, sisanya modus kalau kita banyak fulus. Ya, inilah aku, teman - temanku sudah sukses, sementara aku masih kesulitan, kesepian dan benar - benar kehilangan arah selama berbulan - bulan. Kadang aku bertanya sendiri, untuk apa aku hidup. Tidak! aku tidak boleh begini, jangan sampai menyesal seperti mimpi tadi.

Beberapa hari kemudian seseorang menghubungiku. Hanya syukur Alhamdulillah yang bisa aku ucapkan setelah sekian lama mencoba mengerjakan banyak hal. Beliau memintaku untuk membuat proyek edukasi tentang properti dan juga arsitektur yang berkaitan dengan perusahaannya. Setelah mentransfer uang muka, kami merencanakan pertemuan. Untungnya kami tinggal  dikota yang sama.

Kami bertemu tiga hari setelahnya di sebuah resto ternama yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat orang ini masih muda dan perawakannya mirip dengan perpaduan Ikhsan, Bang Zaki dan Mas Gusti. Tentu saja aku memutuskan untuk membuka hatiku kembali setelah sekian lamanya.

Jatuh cinta pandangan pertama itu benar adanya. Ya aku jatuh cinta dengan pemilik usaha properti itu. Gagah, tutur katanya yang sopan, dan sepertinya dia memang dari keluarga yang baik. Setidaknya nyambung jika harus membicarakan proyek apapun. Selama pengerjaan proyek, kami sering pergi bersama. Ya kurang lebih itu terjadi beberapa bulan. 

Lelaki itu bernama Ilham. Umurnya selisih satu tahun di atas umurku. Meski begitu, aku memanggilnya hanya dengan sebutan nama. Ilham begitu baik, sesekali kami mengerjakan proyek di taman, di rumah Ilham atau kadang di kantor Ilham sendiri. Kami begitu akrab, sampai hampir setiap hari bersama. Sesekali kami terlihat bercanda agar tak terlihat pusing. 

Hal itu terjadi begitu saja selama berbulan-bulan. Aku nyaman dengan hal ini. Berbeda situasinya jika aku sedang bersama mas Gusti. Mungkin karena umur kami yang selisih jauh, masih terbentuk sekat diantara kita. 

Pribadi Ilham yang menarik, membuatku dengan cepat membuka hati. Terlebih ucapan Ibu - Ibu di lapak sayur dan mimpi malam itu membuatku menjadi bangkit atas keterpurukanku selama ini. 

Beberapa bulan kami selalu bersama, Ilham memutuskan untuk membawaku kepada keluarganya. Mengenalkanku pada keluarga besarnya. Alhamdulillah, atas ijin Allah semuanya menyambutku dengan baik. Tak hanya itu, Allah memberikanku rejeki yang tidak terduga. Aku mulai mendapatkan proyek - proyek dari rekan dan keluarga Ilham. 

Kami tidak pacaran, hanya berkomunikasi sewajarnya. Meski besar harapanku bisa mendampingi hidup Ilham. Bahkan sejak waktu Ilham mengenalkanku pada keluarganya kami jarang bertemu dan berkomunikasi. 

Kesibukanku mengerjakan proyek - proyek yang masuk pun membuatku benar - benar melupakan segalanya yang pernah terjadi. Tak hanya itu, aku menyewa sebuah rumah kecil dengan mempekerjakan dua orang untuk membantuku menyelesaikan semuanya. 

Dalam hitungan bulan, Alhamdulillah Allah memberikanku rezeki. Hutang Sabrin pun terbayar dengan cepat tanpa harus menunggu waktu satu tahun. 

Proyek yang masuk membuatku bangkit begitu cepat sampai aku lupa jika usiaku sudah tidak muda lagi. Bekerja siang malam membuatku lupa kalau aku harus pulang kerumah membuat Ibu bangga. 

Aku harus merencanakan pulang jika semua proyek ini selesai Kira - kira sekitar satu bulan lagi dan akan close order selama dua Minggu. Sempat merasa minder dan takut kehilangan Ilham, tiba - tiba Ilham meneleponku. Tentunya aku selalu berdoa agar Allah selalu memberikan yang terbaik untukku.

KRING KRING KRING

"Halo assalamualaikum Faya, kemana aja? Ga ditelpon, ga ngabarin ya?" Ucap Ilham yang menyindirku tiba - tiba

Lihat selengkapnya