"Nak, bangun sudah sore, shalat dulu." ucap Bapak membangunkan ku.
Sementara aku sudah tertidur disofa sejak beberapa waktu yang lalu. Aku berlanjut membersihkan diri, mandi, dan juga mempersiapkan diri untuk mengunjungi Ibu.
Tung!
Sebuah notifikasi pesan WhatsApp masuk. Ternyata dari Ilham. Orang yang tidak pernah menghubungiku setelah ia berbicara hendak melamarku.
"Gimana udah sampai? Lusa aku kesana ya sama keluarga. Rencana mau silaturahmi bareng Om dan Tante juga." Ucapnya mengabariku karena aku tak menghubunginya sama sekali.
"Alhamdulillah udah sampai, ini aku mau kerumah Ibu, perjalanan kurang lebih berapa jam ? Biar aku mempersiapkan semuanya." Tanyaku.
"Lusa kami usahakan datang sebelum jam 12 siang ya.. Bismillah, semoga Allah memudahkan." Ucap Ilham pada pesan WhatsAppnya. Aku memang menyukainya. Namun dia sama sekali tidak pernah memacariku. Kami berteman sewajarnya meski proses ini semua bukan melalui tahapan ta'aruf.
Aku tiba dirumah Ibu selepas magrib. Tampa sunyi sekali. Sepertinya Ibu hanya tinggal sendiri. Namun tampaknya rumah Ibu sekarang sedang kedatangan tamu karena terlihat satu buah mobil parkir dihalaman. Sepertinya banyak hal berubah selama aku pergi dari kota ini.
Bapak berjalan beriringan denganku ketika keluar dari mobil. Dengan tangan berkeringat, jantung berdebar, aku mencoba mengetuk pintu.
"Assalamualaikum." Ucapku sambil mengetuk pintu berulang kali.
Tampak dari kejauhan seorang wanita dengan kerudung lebarnya, menghampiriku. Begitu terkejutnya Ibu setelah melihatku begitu pintu di buka.
Ibu langsung histeris dan memelukku erat. Tangannya mendekap dan meremas kerudung yang aku kenakan. Tangisnya pecah, begitupun aku. Sementara Bapak hanya mematung menyaksikan drama Ibu dan anak didepan wajahnya.
"Maafin Faya Bu, maaf Faya baru bisa kembali. Maafin Faya kalau harus menghindar dan lari dari semuanya." Terangku memeluk erat Ibu. Aku menangis terisak begitupun dengan Ibu.
Tak lama seorang wanita berambut panjang dengan lelaki yang tak asing wajahnya bagiku, keluar dari sebuah ruangan dirumah Ibu.
Aku berusaha mengingat - mengingat siapa mereka. Ya, ternyata Jessica dan juga Mas Gusti. Mereka keluar karena terkejut mendengar suara tangisan kami berdua dengan wajah terkejut.
"Mbak Faya?" Ucap Jessica.
Aku dan Ibu saling melepaskan pelukan kami dan berusaha mengusap air mata kami.
"Wah kalian mengganggu pertunjukan Ibu dan anak." Ucap Bapak sambil tertawa. Tawa Bapak membuatku sedikit malu.
"Hei mas, apa kabar ? Tanyaku pelan. Aku lanjut memeluk Jessica setelah menyapa Mas Gusti.
"Kamu apa kabar? Kamu cantik banget sekarang. Makasih ya kamu sering kesini, aku turut berduka atas kepergian Ibu, semoga Ibu kamu tenang disisi Allah ya Jess." Ungkapku kepada Jessica.
Jessica hanya tersenyum. Diikuti Mas Gusti yang juga ikut tersenyum. Mereka seperti sudah mengerti apa yang terjadi di keluarga ini.
"Duduk dulu yuk didalam, kebetulan Ibu masak makanan kesukaan kamu nak. Entah kenapa Ibu rindu sekali kamu hari iji. Ternyata pertanda kamu datang." Ucap IBu sambil mengajakku duduk di sofa.
Jessica membuatkan aku minum kedapur, sementara Mas Gusti mengikutinya. Tampak sibuk mempersiapkan cemilan dan makanan yang ada, Jessica sadar Mas Gusti memperhatikanku sesekali.
"Melamun aja, dia kembali loh mas. Harusnya kamu bahagia bukan?" Tanya Jessica pelan.
"Faya jauh lebih bahagia sekarang. Dia tampak lebih percaya diri. Apa dia masih sendiri? Atau sudah jadi milik orang lain?" Tanya mas Gusti tidak percaya.
"Lihat saja, dia masih bersama Bapaknya mungkin saja Mbak Faya sudah berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalunya. Kamu masih menginginkannya bukan?" Tanya Jessica yang mengerti bahwa Mas Gusti benar - benar menungguku.
Sementara disisi lain, ketika Jessica dan Mas Gusti masih berbincang di dapur, Ibu memegangi tanganku, seakan masih tidak percaya jika aku masih hidup. Semua orang sepertinya sempat berpikir aku sudah mati. Tak hanya itu, Ibu juga seperti Bapak, mengusap kepalaku dan juga mencubit pipiku yang chubby.
"Nak maafin Ibu, maaf kalau Ibu membuatmu terluka. Kamu kenapa pergi ninggalin uang. Kamu ga kelaparan kan nak?" Tanya Ibu khawatir. Aku hanya tersenyum.
"Faya gapapa Bu, Ibu ga salah, maaf kalau perkataan Faya menyakiti Ibu, maaf Faya ga bisa kasih Ibu uang lebih waktu itu.
"Dia sudah kaya sekarang. Dia benar - benar kehilangan akal sehatnya sehingga dia membuat perusahaan sendiri. Pasti kau tidak menyangka ya Lina." Celetuk Bapak yang tidak mau kalah. Meski sudah bercerai, sepertinya bapak dan Ibu kini berteman baik.
Aku tertawa lepas mendengar jawaban Bapak. Tak lama setelah itu Jessica datang membawakan makanan dan cemilan, sedangkan Mas Gusti membawakan kotak tisu mengikuti dibelakang Jessica.
"Diminum dulu mbak, yaampun mbak, aku kangen loh mba, aku tuh sempat ngira yang enggak-enggak mba." Celetuk Jessica dengan heboh. Aku hanya tersenyum. Sesekali mataku justru malah bertatapan dengan mata Mas Gusti.
Aku mencoba mengalihkan suasana dengan pertanyaan lain. Sedangkan Ibu dan Bapak memilih pergi ke lantai dua membiarkanku bernostalgia dengan Mas Gusti dan Jessica.
"Eh kalian kok bisa disini? Banyak banget perubahan selama aku pergi yaa." Ucapku mencoba memecahkan suasana. Ekspresiku yang heboh membuat mas Gusti berkata dengan sinis.
"Waaah yang baru menghilang tiba - tiba datang sumringah banget." Ucap mas Gusti dengan senyum sinis.