Pemakaman Ilham sudah selesai. Ibu dan Bapak berpamitan kepada keluarga Ilham untuk kembali ke Bandung. Aku yang tidak sanggup berkata - kata hanya bisa menurut apa yang diucapkan Ibu. Sebelum pulang, Ibu dan Kakak perempuan Ilham memelukku erat dan minta maaf. Kuberanikan diri dengan suara berat meminta Kak Risa mengirimkan rekaman suara Ilham semalam.
“Kamu harus kuat ya Fay, kalau kamu ga keberatan kamu bisa kesini kalau kamu mau, pintu rumah terbuka lebar untuk kamu.” Ucap kedua wanita itu. Aku hanya mengangguk.Lagi - lagi aku menangis. Dan itu berlangsung selama perjalananku menuju pulang.
AKu kembali kerumah dengan perasaan kacau. Mas Gusti dan Jessica yang melihatku tak berani berkata - kata karena mereka paham dengan apa yang terjadi. Sejak kejadian itu, aku selalu mengulang - ulang perkataan Ilham terakhir sebelum pamit dari sini.
Suasana duka yang menyelimutiku, membuatku tak peduli dengan diriku. Aku jadi malas mandi, malas makan. Aktivitasku hanya tidur dan shalat. Aku selalu bertanya - tanya kenapa semua harus terjadi padaku ? Aku kembali kehilangan tujuanku. Kerjaanku hanya menangis di jendela, mengingat -ngingat semua yang sudah terjadi.
Ibu dan Bapak pun bingung melihat kondisiku. Kadang aku sering mengigau menyebut nama Ilham berulang kali. Hingga pada akhirnya Bapak dan Ibu memutuskan untuk minta tolong Mas Gusti dan Jessica mengurus kantorku dan Barang - barangku di kota itu. Ya, semua barangku mereka bawa kemari dan Karyawanku dialihkan menjadi karyawan Mas Gusti atas pertimbangan berbagai macam hal.
Sudah beberapa bulan berlalu sejak kepergian Ilham, kondisiku makin memburuk. Ibu melihatku sudah tergeletak di lantai kamar karena pingsan. Ya, aku sepertinya mengalami gangguan asam lambung. Aku dilarikan di rumah sakit pada waktu. Semua orang khawatir dengan kondisiku yang terlihat seperti orang gila. Ya, aku benar - benar gila kehilangan akal sehat. Semua nya terlihat buruk. Aku makin menjadi - jadi karena membandingkan diriku lagi dengan pencapaian orang lain. Namun saat ini aku sadar, ini takdir sehingga aku tak bisa menyalahkan siapapun.
Setelah menikmati infus rumah sakit selama kurang lebih satu minggu, aku memutuskan untuk mengikuti sebuah kegiatan sosial di luar pulau sebagai volunteer untuk mengajar di sekolah daerah pesisir. Meski Bapak dan Ibu khawatir, mereka melepaskanku kurang lebih selama 3 bulan di daerah itu.
Perlahan aku mulai menerima kepergian Ilham, meski aku masih menangis hebat mendengar suaranya. Mungkin Allah punya rencana lain untukku. Ya, aku menerima itu ketika aku melihat tawa anak - anak pesisir yang terlihat bahagia Yang bahkan mereka masih bingung bagaimana belajar dengan baik dan benar. Bahkan keadaan pendidikan di sana bisa dibilang memprihatinkan. Hal itu menyadarkanku bahwa sudah cukup aku larut dalam kesedihan. Entahlah, sudah berapa liter air mataku yang habis, untuk menangisi hal ini. Aku mencoba kembali menata hidupku. Menata seperempat abadku yang berkali - kali hilang arah.