Perseteruan antar sesama cucu memang selalu ada, rasa iri karena perbedaan dalam memperlakukan dan membagi kasih sayang. Memang tak seharusnya Nenek membeda-bedakan cucunya. Tapi keadaan adil itu harus sama, semua juga harus melihat situasi dan kondisi yang ada.
Hal itu ku beritahukan pada Bibiku. Bibi bisa memahami akan keadaan itu, tanpa sepengetahuanku Bibi mendiskusikan hal ini pada Nenek. Agar suasana tidak semakin memanas Nenek membuat acara makan bersama keluarga.
Namanya juga anak-anak walau sebelumnya berseteru, mereka akan cepat akur kembali seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Ternyata dengan berkumpul bersama dan menjalin keakraban membuat yang jauh menjadi dekat, dan meningkatkan rasa sayang antar saudara.
"Enak, ya sayur maksakan Nenek!" kata Erti.
"Iya, dong Nenek itu chef lho!" jawabku.
"Boleh tidak besok dimasakkan lagi, Nek?" kata Erti.
"Boleh, tiap hari juga bisa, apa sih yang tidak untuk cucu Nenek yang cantik ini," jawab Nenek.
"Terima kasih, Nek," jawab Erti dengan tersenyum.
Begitulah akhirnya walau dengan perhatian kecil semakin mengakrabkan dan jurang yang jauh menjadi kian dekat.
Teng ... Teng ... Teng
Suara lonceng tanda masuk sekolah telah berbunyi anak-anak berhamburan menuju lapangan sekolah untuk melaksanakan upacara bendera. Setiap hari Senin sekolahku melaksanakan upacara bendera. Selesai upacara bendera aku masuk kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasanya.
Di kelas cukup ramai suara riuh teman-teman saat istirahat, aku dan teman-temanku mengisi waktu istirahat dengan bermain-main.
"Nanti sepulang sekolah ke rumahku Yuk!" ajak Susi.
"Iya ada PR ini sekalian kita mengerjakanny," jawab Yati.
"Setuju ini PR nya susah ada ahli nya kok tenang saja," jawab Ning sambil melirik padaku.
"Ya boleh nanti tak ajarin beres semua," jawabku.
"Setuju biar nanti malam tinggal tidur ya kita," jawab Yati.
"Bener ya ku tunggu, nanti ku buatkan es teh biar tambah semangat belajarnya," kata Susi.
Suara bel tanda masuk mengakhiri pembicaraan kami. Kami pun masuk ke kelas kembali menyelesaikan pembelajaran hari ini.
Doa penutup mengakhiri pembelajaran hari ini, setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Karena rumahku dekat aku cukup jalan kaki saja, sedang Ning dan Yati karena jauh mereka naik sepeda.
Sampai di rumah aku istirahat sebentar dan salat dzuhur serta dilanjutkan makan siang. Sudah ada hidangan sederhana di meja makan ada sayur sop, tempe goreng dan sambal. Walau sederhana namun sangat nikmat karena Nenek memasaknya dengan sepenuh cinta. Aku berpamitan kepada Nenek untuk belajar bersama di rumah Susi.
“Aku mau belajar di rumah Susi ya, Nek?” pamitku pada Nenek.
”Iya itu ada jambu merah di dapur dibawa untuk teman-temanmu,” kata Nenek.
”Terima kasih, Nek mereka pasti suka,” jawabku.
Segera aku menuju ke rumah Susi, jarak rumah Susi dengan rumahku cukup dekat’ Cukup berjalan kaki 5 menit sudah sampai.
Ternyata mereka sudah datang kudengar suara gelak tawa mereka dari jauh. Melihatku mereka segera melambaikan tangan.
”Ini yang ditunggu baru datang,” kata Ning.
”Bawa apa itu?” tanya Yati.
”Ini jambu merah mau tidak,” tanyaku.
“Mau dong,” jawab mereka serempak.
Dari dalam Susi membawa nampan berisi es teh dan aneka cemilan.
”Ayo ... ayo ini minumannya sudah siap,” kata Susi mempersilakan.
”Aduh jadinya makan-makan ini belajarnya kapan?” kata Yati.
”Iya sambil belajar sambil makan,” jawab Susi.
”Setuju,” jawab kami serempak.
Kami mengerjakan PR bersama dan saling membantu kalau ada kesulitan dalam mengerjakan. Memang benar peribahasa berat sama di pikul ringan sama di jinjing. Dengan mengerjakan bersama-sama yang bisanya malas mengerjakan PR apalagi Matematika sekarang jadi bersemangat karena banyak teman.
Selesai mengerjakan PR, kami menikmati hidangan yang ada sambil berbincang. Di sebelah rumah Susi ada lapangan yang cukup luas biasa digunakan anak-anak untuk bermain di sore hari.
Beberapa anak sudah mulai berdatangan, hari ini mau bermain kasti. Mereka sudah menyiapkan alat-alatnya yaitu bawa bola dan tongkat pemukul. Sebenarnya kami hanya ingin menonton saja , namun karena PR sudah selesai dan jumlah pemainnya kurang kami diajak main kasti.
"Ayoo ... teman-teman kita main kasti," kata Susi.
"Ayoo ... semangat!" jawab kami serempak.
Permianan kasti sore ini cukup menegangkan karena kedua regu sama tangguh. Setiap regu berharap menjadi pemenang. Namun naas kali ini saat aku lari sebuah bola mendarat di perutku, aku merasa kesakitan. Mau menangis tapi malu sama teman-teman. Di tengah kesakitanku malah ada yang tertawa karena akhirnya regunya menang pertandingan.
"Memang kalau ikut main ya begitu resikonya," teriak Budi dari jauh.
"Iya namanya juga kasti biasa itu," kata Yanto menanbahi.
"Kalau yang sakit ya main boneka sana!" kata Heri sambil tertawa.
"Kalian teman sakit bukannya dibantuin malah di ketawain," kata Susi.
"Bubar ... bubar sudah sore," kata Susi lagi.
Susi menang pemberani apalagi kalau ada teman yang disakiti. Dia akan di garda depan untuk membela. Seperti kemarin saat aku punya penjepit rambut baru ada teman yang pinjam dan lama tidak dikembalikan Susi akan dengan tegas dan berani memintanya.