Jika ditanya kisah cinta siapa yang paling romantis, Halwa akan dengan semangat menjawab, kisah cinta Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah putri Rasulullah saw. Kisah yang mengajarkan padanya bahwa skenario Allah benar-benar indah. Bahwa jodoh akan selalu menemukan jalan untuk bersatu. Bahwa tidak harus pacaran untuk bisa bersama, karena lewat doa semua harap terwujud jua.
Ali dan Fatimah membawa cinta mereka dalam sujud-sujud panjang. Bercerita hanya pada Rab-nya, tentang rasa suka mereka. Tentang keinginan memiliki. Pun tentang kepasrahan akan kehendak Ilahi.
Maka, hal itu pula yang Halwa lakukan. Menyebut satu nama dalam sujud di sepertiga malamnya. Membisikkan ke bumi tentang seraut wajah yang merusak irama detak jantungnya.
***
“Wa, hari ini ada rapat, kan?” tanya Haura. Gadis yang memakai gamis toska itu mengambil tempat di samping Halwa. Duduk di gazebo Fakultas Bahasa Indonesia Universitas Garuda.
Halwa yang tengah menekuri laptop mengangguk, “Hu’um,” jawab gadis berhijab biru itu singkat. Tatapannya masih tertuju ke layar datar di depannya. Jemarinya lincah menari di atas papan ketik. Menyalurkan ide dalam kepala yang antre serupa penumpang kereta di jam pulang kantor.
“Kayak gini, nih, kalau Ukhty Geeky udah mojok ama laptop, lupa segalanya,” sindir Rara, nama panggilan Haura sehari-hari. Dia menyebut julukan khusus untuk Halwa. Bukan tanpa alasan memang, karena seperti saat ini, ketika Halwa tengah asyik menuangkan gagasan-gagasan dalam laptopnya, bisa dipastikan gadis itu akan mengabaikan sekitarnya.
“Apa sih, Ra?” Halwa masih tidak lepas dari layar.
“Auk, ah, gelap!” Rara menyedekapkan tangan di dada. “Kamu gak kangen sama aku? Dua hari lho kita gak ketemu.”
Halwa terkekeh geli. Barangkali orang yang tak sengaja mendengar ucapan Haura, akan beranggapan bahwa mereka pasangan abnormal. Dua wanita yang menjalin hubungan tak wajar dengan kedok berhijab dan bergamis lebar. Halwa bergidik sendiri membayangkan itu.
Mereka masih normal, masih menempatkan diri dalam koridor selayaknya kodrat wanita. Hubungan Halwa dan Haura memang sedekat itu. Mereka bukan saudara kandung, tapi kedekatan keduanya lebih dari sekadar teman main. Mereka tumbuh bersama, sekolah bersama, hingga sekarang kuliah dan indekos di tempat yang sama. Orang-orang yang mengenal keduanya bahkan menyebut mereka kembar beda orang tua. Melakukan apa-apa bersama, meski secara fisik sangat berbeda.
Soulmate kalau kata Halwa. Dia sudah menganggap Haura seperti separuh jiwanya. Orang yang akan dia cari pertama kali ketika bangun tidur. Orang yang akan dia lindungi lebih dari nyawanya sendiri.
“Iya, Sayang, aku kangen kok. Sini peluk dulu!” Halwa menyerongkan tubuh, menjulurkan lengan untuk menggapai tubuh Haura.
“Telat, ah!” Haura melengos.
“Dih, ada yang ngambek. Jelek ah, kalau manyun gitu!” Halwa menjawil dagu Haura.