Cantik. Satu kata itu yang akan orang-orang decakkan setiap kali melihat Haura. Lantas menjadi hal yang lumrah jika banyak lelaki menginginkannya. Namun, hal itu justru menjadi momok tersendiri bagi Haura.
Sudah sering dia dengar tentang beberapa gadis yang iri. Mereka berpendapat bahwa Haura beruntung. Tak perlu susah payah menggaet lelaki. Namun, tidak seperti itu yang Haura rasakan. Karena bukan lelaki-lelaki itu yang menjadi pujaannya. Karena kedatangan para lelaki itu justru membuatnya dilema. Dia tidak mau dicap sombong karena menolak mereka, tapi dia juga tidak bisa menerima mereka begitu saja.
Seperti dua hari lalu, ketika Farid menyampaikan maksud hati untuk melamarnya, itu adalah dilema terbesar bagi Haura. Jelas, hanya gadis bodoh yang akan menolak lelaki sesoleh Farid. Sayangnya, gadis bodoh itu adalah dirinya. Mau bagaimana lagi, dia tidak bisa membohongi hati yang sudah lebih dulu berdenyar untuk lelaki lain.
Namun, dia tidak bisa serta merta mengungkapkan hal itu pada Widya, walinya di sini selama jauh dari orang tua. Dia belum tahu isi hati lelaki itu. Apakah menyukai Haura atau tidak. Maka demi bisa mengulur waktu, Haura beralasan jika dia perlu mempertimbangkannya.
“Kamu pikirkan baik-baik, lho, Ra. Jaman sekarang susah nyari lelaki kayak Farid itu.” Wejangan yang diberikan Widya setelah Haura nyaris menolak. “Harus ada alasan yang masuk akal kalau kamu mau menolak. Tapi Tante rasa gak ada alasan menolak lelaki baik itu.”
Haura tidak akan protes dengan pendapat Widya tentang kebaikan Farid. Dia yakin, tantenya sudah lebih dulu mencari tahu tentang seluk beluk Farid. Keluarganya, baik dan buruknya, termasuk masa depannya.
Menjadi satu-satunya anak perempuan dalam lingkup keluarga besarnya, membuat Haura mendapat limpahan perhatian. Termasuk Widya yang sudah menganggap Haura anak sendiri. Kebahagiaan besar bagi Haura di satu sisi, tapi di sisi lain juga membuat Haura tidak tega menyakiti perasaan mereka. Tidak sampai hati membuat kecewa.
“Siapa, Ra? Siapa cowok itu?”
Pertanyaan itu membuat Haura kembali memijak bumi. Dia menoleh pada gadis di sebelahnya. Orang yang secara perawakan seperti adik, tapi menurutnya, Halwa lebih pantas menjadi kakaknya. Orang yang dia jadikan tempat berbagi segala keluh kesah dan rahasia. Orang yang dia sayangi lebih dari teman biasa.
Jika biasanya, Haura lebih cerewet dari Halwa, maka lain dengan hari ini. Sifat mereka seperti tertukar. Halwa yang terus merengek sejak jam istirahat sampai pulang. Sementara Haura menjadi si kalem, yang masih tak mau menjawab pertanyaan itu.
“Ra, kamu beneran mau bikin aku penasaran terus?” Halwa menghentikan langkahnya menyusuri koridor. Selama ini mereka nyaris tidak punya rahasia, tapi sekarang Haura seperti sengaja mempermainkannya. “Ra!” serunya, karena Haura yang tetap berjalan, seakan sengaja menulikan telinga.
Halwa berlari kecil mengejar Haura, membuat jilbabnya berkibar-kibar. Lantas ketika melihat Haura yang justru terkekeh, dia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Bibirnya mengerucut.
“Sekali-kali liat ekspresi kamu kayak gini lucu juga,” ucap Haura masih diselingi tawa. Dia menjawil hidung mungil Halwa.
“Aku pensaran tau!”
“Iya, Sayang ... ntar aku pasti kasih tau, kok. Tapi gak sekarang. Oke?”