Belum pernah ada yang bilang pada Halwa jika kehadiran seseorang akan membuatnya menjadi idiot. Halwa seperti kehilangan kemampuan berbicara. Pun mengalami penurunan bertindak. Yang dia lakukan hanya duduk dengan kepala nyaris terbenam ke meja. Seolah sesenti saja dia bergerak, aula akan hancur.
Sungguh, keinginannya untuk mengacungkan tangan dan mengeluarkan pendapat amat besar. Tapi tangannya seakan terpaku di sisi tubuh. Pun mulutnya seperti membeku, tak bisa digerakkan.
“Wa, Kak Ibram cerdas banget, ya?”
Bahkan mendengar orang menyebut namanya saja membuat jantungnya seakan mau meledak. Susah payah Halwa mengeluarkan kekuatan untuk menjawab agar terdengar wajar. Meski yang pada akhirnya keluar dari mulutnya justru terdengar ketus. “Ya, kalau gak cerdas, gak bakal kepilih.”
Halwa memejamkan mata sejenak, tidak habis pikir dengan reaksi tubuhnya saat ini. Dia bertingkah seperti tidak peduli dengan Ibram. Seakan cuek dengan keberadaan ketua ODK yang baru. Padahal, di balik semua itu, Halwa nyaris menyerupai penguntit ulung. Dia akan mencuri liat ke arah lelaki itu dari jarak sekian meter. Dia akan mengintip dari balik rak buku di perpus jika Ibram ada di sana. Bahkan, Halwa pernah sengaja membuat akun IG baru, hanya untuk stalking Ibram.
Ya, Ibram Malik adalah lelaki yang Halwa sukai. Lelaki yang dia kagumi dalam rahasia terdalam. Lelaki yang hanya mampu dia sebut dalam doa.
Halwa tidak tahu kapan tepatnya rasa itu muncul. Mungkin saat pertama kali melihat Ibram di koridor menuju perpustakaan. Mungkin saat pemuda itu menyuarakan panggilan sholat di mushola kampus. Yang jelas, dua bulan terakhir ini wajah Ibram seperti menari-nari dalam tempurung kepalanya. Sosoknya seakan memiliki magnet tersendiri yang membuat Halwa menyadari keberadaannya.
Dia Ibram Malik, lelaki kharismatik. Lelaki yang Halwa yakin banyak pula yang menaruh hati padanya.
Halwa memandangi punggung itu hingga menghilang di balik pintu. Ya, setelah Ibram berpaling, Halwa baru bisa menegakkan kepala. Baru berani melihatnya secara langsung. Meski hanya sekadar punggung.
Kadang Halwa berpikir, bagaimana bisa perasaan itu tumbuh sedangkan mereka tidak pernah saling sapa? Belum pernah ada kontak secara langsung. Bahkan Halwa sanksi jika Ibram mengetahui namanya. Kepalanya tergeleng, merasa konyol dengan perasaan sendiri.
“Kenapa kamu?”
“Apa?” Dia menoleh pada Haura yang barusan bertanya.
“Kenapa geleng-geleng?”