Pintu kafe terbuka pelan, disambut denting lonceng kecil yang menggantung di atas. Angin sore menyelusup masuk, membawa aroma debu dan daun basah. Di dalam, suasana masih setengah lengang, hanya dua meja yang terisi. Sepasang kekasih yang sedang bercengkerama dan seorang perempuan muda yang sibuk dengan ponselnya.
Seorang perempuan melangkah masuk, langkahnya ringan seperti terbiasa memijak sesuatu yang tak boleh gaduh. Ia mengenakan gaun linen krem yang jatuh selutut, dan sepatu hak rendah warna tanah. Rambutnya dikuncir asal, dengan beberapa helaian yang lepas dan membingkai wajah. Ia tersenyum hangat begitu perempuan muda itu melambai, meletakkan ponsel di meja.
"Sorry Gi, lama, ya? Laporanku harus selesai hari ini." Katanya begitu duduk di seberang meja Giana, perempuan muda yang kini meletakkan ponselnya di atas meja.
"Baru aja sampai juga kok, Rain."
Raini mencicip kopi yang sudah lebih dahulu dipesan Giana. Ia meringis, lalu tertawa kecil. "Tanpa gula, tipikal Giana. Ini sih bukan kopi lagi, ini pahit kehidupan. Tapi masih enak, berarti aku masih bisa ditolong."
Giana ikut tertawa. "Kamu tuh, selalu bisa aja bikin kalimat yang bikin hidup kayak dialog film."
"Itu karena hidupku belum dramatis, jadi harus aku dramatisin biar seru," jawab Raini dengan tawa yang mekar.
“Jadi, apa yang membuat Raini si desainer interior super sibuk ini sekarang mendadak buat jadwal ngopi?” Giana menatap Raini dengan seksama, seolah takut satu kedipan saja akan melewatkan bagian penting dari cerita Raini.
Raini tersenyum ringan, “Nggak ada yang seserius itu, kamu yang terlalu serius Gi. Ini hanya hari-hari lain yang buat sumpek dengan berbagai macam permintaan klien.”
Raini mulai bercerita soal kejadian konyol di proyek terakhirnya, bagaimana ia harus menjelaskan pada klien bahwa rumah mereka tidak bisa punya rooftop garden tanpa struktur pendukung, lalu berakhir dengan klien menyodorkan gambar rumah Pinterest sebagai referensi.
"Pinterest tuh sumber ide dan sumber derita dalam satu paket," kata Raini sambil memainkan sendok. “Kadang aku merasa pinterest itu semacam pisau bermata dua. Di satu sisi, inspiratif banget, klien jadi punya referensi visual yang jelas. Tapi di sisi lain, ekspektasi mereka jadi kadang terlalu sempurna.”
Giana tertawa kecil. “Iya, sama banget. Apalagi kalau mereka bawa gambar rumah-rumah yang dari dinding sampai atapnya kaca semua dan bilang, saya mau persis kayak gini, tapi di Jakarta.” Giana menirukan cara bicara klien, Raini ikut terbahak. “Padahal cuma ada taman kecil, apa nggak terpanggang semua penghuninya dengan keadaan cuaca kita.”
Raini dan Giana bertemu pertama kali di sebuah proyek rumah tinggal seorang pejabat publik yang cukup tersohor di ibukota. Mereka mewakili firma masing-masing. Giana seorang arsitek residensial dan Raini seorang desainer interior, mereka bertemu saat perencanaan proyek. Karena kesamaan minat akan banyak hal, keduanya menjadi teman baik di tengah huru-hara kehidupan ibukota yang tidak pernah senyap.
“Betul. Mereka lupa kalau desain itu nggak cuma soal estetika, tapi juga fungsi dan konteks. Tapi jujur, aku juga pakai pinterest buat nyari mood board. Kadang ada tren warna atau gaya furnitur yang menarik.”
“Sama. Pinterest itu alat yang bagus, asal kita yang mengendalikan, bukan sebaliknya. Aku biasanya pakai itu buat diskusi awal, terus pelan-pelan arahkan klien ke solusi yang lebih realistis dan personal.”
“Jadi semacam jembatan, ya? Antara imajinasi mereka dan realitas desain yang bisa kita wujudkan.”
“Persis. Pinterest bukan peta, tapi lebih kayak kompas. Mengarah, tapi nggak bisa ditelan mentah-mentah.”