Gerimis baru saja reda saat Tara melangkah keluar dari gedung kecil di pojok kampus. Gedung itu bukan tempat kuliah, bukan pula tempat ia bekerja. Tapi di sanalah klub sastra menyelenggarakan diskusi bulanan mereka—ruang dengan kursi-kursi rotan lama, papan tulis penuh coretan kutipan, dan meja teh kecil dengan teko berisi chamomile yang sudah dingin sejak satu jam lalu.
Tara tidak pernah datang untuk bicara. Ia datang untuk mendengar. Untuk mencatat.
Langkahnya pelan, tidak terburu. Payung transparan meneduhinya dari rintik sisa. Jaket panjang berwarna biru tua membalut tubuhnya, dan di tangan kirinya tergenggam buku catatan bersampul abu. Ia tampak seperti seseorang yang datang dari dunia yang tenang dan tertata, tempat di mana segala sesuatu berjalan amat lambat dan menyenangkan.
Sambil berjalan menyusuri trotoar, Tara membuka catatannya. Bukan untuk membaca, hanya untuk memastikan satu halaman yang tadi ditulis dengan cepat tidak terkena air. Ia menatap baris-baris tulisan kecilnya sendiri, lalu diam sejenak, seperti sedang mengulang kembali kata-kata yang tak pernah ia ucapkan keras-keras.
"Kau tidak harus dikenang dengan nama, cukup dengan cara kau membuat dunia terasa lebih sunyi saat kau pergi."
Ia menutup bukunya, menyimpannya kembali dalam tas kulit tuanya, lalu berhenti di pinggir jalan. Tak banyak mobil lewat sore itu. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, memberi warna kuning temaram pada wajah kota yang lembap. Tara menunggu bus kecil yang lewat hanya dua kali sehari, dan ia selalu memilih pulang dengan itu. Menuju rumahnya di piggiran kota.
Di halte, hanya ada seorang anak sekolah yang sedang memutar headphone-nya dan dua orang ibu-ibu yang sibuk membicarakan harga bawang. Tara berdiri sedikit menjauh, bersandar pada tiang dengan poster film lama yang setengah terkelupas.
Saat bus datang, ia naik tanpa suara, memilih tempat duduk paling belakang, dekat jendela. Dari sana ia bisa melihat semua orang, sekaligus tetap tidak terlihat. Posisi favoritnya.
Ia duduk diam, matanya mengikuti garis atap toko-toko, balkon kecil penuh tanaman gantung, dan langit yang perlahan oranye. Kota ini tidak asing. Tapi tidak juga terasa seperti rumah.
Pikirannya terbang ke diskusi tadi. Tentang puisi sebagai bentuk pelarian. Tentang bagaimana tulisan bisa menjadi semacam ruang kedua, tempat seseorang menyembunyikan dirinya sambil tetap bicara.
Ada seseorang yang berbicara cukup panjang tadi. Suaranya berat, tenang, tapi tak membuat mengantuk. Ia bicara soal puisi Sylvia Plath, tentang bagaimana bahasa bisa menjadi pisau sekaligus perban. Tara mengangguk pelan saat mendengarnya. Bukan karena setuju, tapi karena paham.
Ia pernah merasa seperti itu. Masih, sebenarnya. Tapi tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Baginya, diam adalah bentuk paling murni dari kesadaran. Dan ia sangat sadar akan semua hal yang tidak pernah ia ucapkan.
Bus berguncang pelan saat melewati tikungan. Tara menyentuh kaca jendela dengan ujung jari, meninggalkan jejak tipis embun yang segera hilang. Ia ingat, malam ini ia harus menyelesaikan satu bab dari naskah yang sedang ia tulis. Tentang seorang perempuan yang tidak pernah benar-benar pulang. Tapi yang juga tidak ingin pergi.