Langit membungkuk sedikit di hadapan maket setinggi lututnya. Tangannya yang berlumur debu papan dan sisa lem kayu meraba sisi bangunan miniatur itu, seakan mencari tahu di mana letak keganjilan kecil yang tak kunjung terasa benar. Ia menunduk dalam, mata menyipit menatap bidang-bidang geometris yang ia rancang sendiri seminggu penuh tanpa tidur cukup.
Studio tempatnya bekerja masih lengang pagi itu. Langit datang paling awal, seperti biasa. Kopi hitam setengah dingin tergeletak di sisi meja, tak disentuh sejak ia menuangkannya sendiri satu jam lalu. Di dinding, tergantung cetakan besar sketsa tangan—konsep awal museum terbuka di pinggiran kota—dan di bawahnya bersandar tabung besar berisi blueprint, bekas revisi yang tak selesai kemarin malam.
Arsitektur, bagi Langit, bukan sekadar membangun ruang. Ia tentang bagaimana menghadirkan rasa tenang dari garis-garis tegas, bagaimana menciptakan ritme dari simetri dan cahaya, bagaimana membuat seseorang merasa pulang hanya karena masuk ke suatu ruangan.
Tapi anehnya, ia sendiri tak tahu persis bagaimana rasanya pulang.
"Kamu belum tidur lagi, ya?"
Suara itu datang dari belakang. Rekan kerjanya, Dion, masuk sambil membawa dua kantong kopi dan roti dari minimarket seberang.
Langit hanya mengangkat bahu. Tangannya masih di maket.
"Kayaknya bentuk atapnya masih kurang fungsi ruang terbuka. Aku ingin bangunan ini lebih menyatu sama konsep alamnya." katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dion.
"Kamu bicara seperti itu makhluk hidup aja," Dion tertawa kecil sambil menyerahkan kopi.
Langit tersenyum tipis. Tapi memang begitu cara ia memandangnya. Bangunan harus punya rasa. Harus tahu kapan bicara, kapan diam. Seperti manusia.
Ia menatap maketnya sekali lagi sebelum akhirnya duduk. Di mejanya, laptop terbuka dengan tab-tab AutoCAD dan SketchUp berjajar seperti barisan mimpi yang belum selesai. Di sebelahnya, ada buku catatan lusuh berisi coretan ide, puisi pendek, dan kutipan yang kadang ia salin dari buku-buku lama yang ia temukan dalam perjalanan atau di sela proyek.
Langit bukan arsitek yang hanya mengandalkan software. Ia percaya pada sentuhan tangan, pada jeda yang diciptakan oleh tinta yang merembes terlalu cepat di atas kertas. Pada ruang kosong dalam sketsa yang memberi napas.