Ruang presentasi sore itu tidak terlalu ramai, tapi cukup membuat suara-suara terdengar bergema di antara meja-meja panjang dan proyektor yang memantulkan visual konsep rumah terapung di layar lebar. Panel-panel kayu dan jendela kaca besar menampilkan suasana urban yang hangat, dan aroma kopi dari dispenser pojok ruangan samar memenuhi udara.
Raini duduk di barisan kedua, mengenakan blus krem dan celana bahan gelap yang rapi. Rambutnya dikuncir rendah, dan di pangkuannya, terdapat buku catatan yang telah terisi sebagian dengan sketsa kecil dan poin-poin penting dari presentasi sebelumnya. Ia mengangguk pelan saat presentasi utama hampir selesai, sebelum akhirnya suara pemandu acara mengumumkan giliran presentasi tim berikutnya.
"Berikutnya adalah presentasi desain dari tim Swarna yang akan dipaparkan oleh Langit Mahardia. Dipersilakan!"
Raini menoleh. Nama itu—Langit—membuat dadanya bergetar sejenak, seperti ada lembaran ingatan yang terlepas dan jatuh begitu saja ke hadapannya. Ia menatap ke arah podium.
Langit melangkah maju. Posturnya tegap, langkahnya mantap. Ia mengenakan kemeja biru abu-abu dengan lengan digulung hingga siku, dan celana kain gelap. Wajahnya tidak banyak berubah sejak terakhir Raini melihatnya—lima tahun lalu, saat ia magang sebagai mahasiswa desain interior tingkat akhir di sebuah proyek resort ramah lingkungan di pinggir danau.
Saat itu, Langit adalah arsitek muda yang sedang naik daun. Gaya bicaranya tenang, penuh pertimbangan, dan punya cara berpikir yang selalu membuat Raini ingin mendengar lebih lama. Ia tidak banyak berbicara, tapi setiap kalimatnya seperti memiliki lapisan. Seperti bangunan yang tak hanya cantik di luar, tapi juga punya struktur dan jiwa di dalam.
Raini ingat bagaimana ia diam-diam mengagumi Langit dari jauh. Mereka tidak pernah benar-benar bercakap panjang. Sesekali bertemu di ruang rapat, di lokasi proyek, atau saat makan siang di warung kecil dekat site, hanya saling sapa seperlunya. Tapi bagi Raini, kehadiran Langit seperti kompas yang tak pernah ia sadari sangat ia butuhkan saat itu.
Dan sekarang, lelaki itu berdiri hanya beberapa meter darinya, mengklik pointer untuk menampilkan denah dan rendering tiga dimensi bangunan terapung yang memukau. Langit berbicara dengan nada datar namun dalam, menjelaskan konsep konvergensi air dan manusia, bagaimana ruang bisa jadi refleksi dari kebutuhan batin untuk pulang, untuk tenang.
Raini hampir lupa bernapas.
Ia mengamati ekspresi Langit yang serius namun tidak kaku, matanya yang kadang menyipit saat menjelaskan detail teknis, dan caranya menyusun argumen yang efisien namun tetap puitis. Tak banyak arsitek yang bisa menjembatani logika dan perasaan seperti itu.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, tangan Raini nyaris terangkat. Tapi ia menahan diri. Ia tahu, terlalu mudah dikenali jika suaranya terdengar. Dan ia tidak siap untuk melihat reaksi Langit jika ia menyadari siapa dirinya.
Setelah sesi selesai, audiens mulai bubar perlahan. Beberapa orang menghampiri Langit dan timnya, mengucapkan selamat atau menanyakan hal-hal lebih teknis. Raini tetap duduk, pura-pura memeriksa catatannya, padahal ia hanya mencoba mengatur degup jantungnya.
"Raini?"
Sebuah suara lembut memanggil namanya dari samping. Ia menoleh dan menemukan Giana berdiri dengan senyum lebar. Giana bekerja sebagai arsitek junior dalam tim yang dipimpin oleh Aruna, salah satu rekan Langit di Swarna, dan terlibat langsung dalam proyek rumah terapung ini.
"Hey! Kamu di sini juga? Harusnya kabarin aku!" seru Giana sambil memeluknya singkat.
"Tadinya cuma mau observasi, tapi kayaknya proyek ini menarik banget. Aku kebetulan lagi tertarik banget sama desain interior rumah terapung juga, jadi sekalian nyari menambah referensi.” jawab Raini dengan senyum cepat.