Topik malam itu adalah, Ruang Tak Bernama dan Fungsi Tak Terduga. Salah satu admin memulai dengan menyampaikan kutipan dari Gaston Bachelard, tentang bagaimana ruang imajinasi bisa lebih berdaya guna daripada ruang-ruang yang dimaknai dengan arsitektural semata.
"A house that has been experienced is not an inert box. Inhabited space transcends geometrical space."
Sejak pandemi melanda di tahun 2020, banyak ruang-ruang obrolah virtual hadir, yang semakin variatif. Dan di sanalah Langit terkadang berselancar, ruang diskusi yang kaya akan manusia dengan berbagai latar belakang, namun punya tujuan sama.
Kolom komentar mulai terisi perlahan. Beberapa peserta—dengan nama samaran seperti Arslong, Gergasi, Kulit Pinang, dan lainnya—memberi tanggapan serius. Ada yang menyebutkan perpustakaan umum sebagai ruang tak bernama yang menyelamatkan masa remaja mereka. Ada pula yang menyinggung sudut tangga darurat tempat ia biasa menangis setelah wawancara kerja gagal.
Di tengah semua itu, satu komentar singkat muncul:
K: "Kadang, ruang tak bernama justru yang menyimpan nama kita paling jujur."
Langit—dengan nama pengguna Skyfold—membacanya dua kali. Lalu tiga. Komentar itu tidak panjang, bahkan nyaris seperti gumaman. Tapi seperti banyak komentar dari K sebelumnya, selalu ada sesuatu yang tertinggal setelah membacanya. Sebentuk keheningan, semacam tanya yang tak bisa diabaikan.
Langit mengetik balasan:
Skyfold: "Apa yang kamu cari di ruang-ruang ini, K? Pengetahuan, atau pengakuan?"
Butuh hampir lima belas menit sebelum K membalas:
K: "Mungkin keduanya. Atau tak satupun. Mungkin saya hanya ingin tahu: apakah ruang juga bisa mendengar saat saya tidak berbicara."
Langit menyandarkan tubuh di kursinya. Malam telah larut, dan ia tahu tak ada yang akan membalasnya malam ini. Tapi K—si K yang entah siapa—selalu seperti itu. Komentarnya tidak banyak, tapi menghantui. Ia belum tahu apakah K lelaki atau perempuan. Ia bahkan tak yakin apakah K lebih tua darinya, atau jauh lebih muda. Tapi ritmenya berbeda dari yang lain.
K jarang muncul di awal diskusi. Ia seperti menunggu, mengamati dari balik tirai. Dan ketika semua orang sudah saling lempar argumen, baru K menulis. Kadang hanya satu kalimat. Tapi seperti jarum di tengah bola benang, langsung mengencangkan semuanya.
Minggu-minggu sebelumnya, Langit sudah memperhatikannya. Di diskusi tentang, Arsitektur Transenden, K menulis, ‘Bukankah bangunan yang baik bukan yang memaksamu diam, tapi yang membuatmu ingin bicara tanpa merasa dungu?’ Di sesi tentang, Psikogeografi Perkotaan, K menyelipkan kutipan seorang penyair yang tak pernah ia dengar sebelumnya, ‘Jalan yang membuatmu lupa arah pulang adalah jalan yang membuatmu menemukan rumah yang baru.’
Dan Langit mulai menantikan K.
---
Tara tak menyangka akan bertahan selama itu di ruang diskusi tersebut. Awalnya, ia hanya ingin mencari suasana baru. Ia sedang jenuh menulis naskah, dan editor-nya tak berhenti mengirim catatan revisi. Ia tak ingin bergabung sebagai Tara, penulis yang sesekali muncul di koran minggu, atau media literasi basis digital lainnya. Maka ia membuat akun baru, dan untuk pertama kalinya memakai nama yang tak pernah ia gunakan dalam ruang publik, K. Huruf pertama nama ayahnya, Kalandra.
Ia tidak tahu kenapa nama itu membuatnya tenang. Mungkin karena ayahnya selalu percaya bahwa kata-katanya layak, bahkan ketika ia sendiri belum yakin.
Tara hanya berkomentar ketika benar-benar tergerak. Ia tidak tertarik menang berdebat. Ia lebih suka diam, mencatat, mengamati bagaimana orang menyusun argumen dan diam-diam menyelipkan dirinya ke dalamnya. Tapi Skyfold berbeda.