Langit menatap maket setengah jadi di hadapannya. Potongan kayu balsa berjejer rapi membentuk denah bangunan utama, tapi ada yang belum selesai, bagian interior masih berupa garis kasar di kertas kalkir yang menutupi sebagian maket.
“Kayaknya kamu butuh bala bantuan,” suara ceria itu datang dari belakangnya. Raini muncul dengan setumpuk papan referensi warna dan potongan kain. “Dindingnya belum bicara apa-apa, Langit.”
Langit menoleh, tersenyum sekilas. “Mereka masih malu.”
Raini tertawa, suara kecilnya jernih seperti aliran air di pagi hari. Ia meletakkan semua yang dibawanya di atas meja panjang, lalu mengambil selembar kain dan mengangkatnya ke arah jendela.
“Malu? Atau belum tahu ingin jadi siapa?”
Langit tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan cara Raini mengangkat kain itu, membiarkan cahaya sore menembus serat-seratnya, seolah menunggu jawabannya sendiri muncul dari situ.
“Sama saja, mungkin,” ujar Langit akhirnya.
Mereka mengerjakan proyek ini untuk pameran arsitektur dan desain tahunan, kolaborasi antar-divisi yang selalu membuat semua orang mengeluh tapi diam-diam menantikannya. Langit bertugas sebagai konseptor ruang dan struktur, sementara Raini mengisi sisi yang lebih lembut—warna, tekstur, dan kehidupan di dalamnya.
Sejak pertemuan mereka dalam presentasi rumah terapung itu, Raini melangkah lebih jauh, bergabung dengan Swarna sebagai desainer interior tetap. Memilih berani untuk berdiri di sisi Langit saat ia mampu melajukan karirnya seorang diri.
Awal-awal bekerja sama, Langit ingat Raini datang membawa satu set lampu meja dari kayu solid dengan bola lampu kuning temaram.
“Aku tahu ini bukan gaya kamu,” katanya sambil menyalakan salah satunya. “Tapi bisa jadi titik hangat di ruangan yang terlalu rapi ini.”
Langit memperhatikan cahaya yang perlahan menyentuh meja kerja mereka. “Aku nggak keberatan dengan hangat. Asal tidak jadi sentimentil.”
“Oh, itu kamu yang takut, bukan lampunya,” kata Raini sambil terkekeh.
Langit ingin membalas, tapi senyum Raini terlalu ringan untuk diganggu. Ia membiarkannya berjalan ke sana ke mari, menyusun benda-benda kecil di sudut maket yang belum tersentuh. Ada semacam keacakan dalam cara Raini bekerja, tapi justru dari sana muncul keutuhan yang tak bisa ia jelaskan.
Sore lainnya, Raini memutar lagu jazz lawas dari ponselnya. Mereka sedang menyusun elemen rak gantung yang akan diletakkan sebagai instalasi kecil di tengah ruangan.
“Kamu selalu kerja dalam diam, ya?” tanya Raini sambil mengetuk-ngetukkan pensil ke papan.
“Kalau lagi mikir, iya.”
“Mikir atau menghindar dari keramaian?”
Langit tersenyum. “Kenapa harus dihindari? Kadang keramaian bikin kita ingat kita masih hidup.”
“Tapi bisa juga bikin kita lupa siapa diri kita,” balas Raini, matanya masih fokus pada pola lantai yang sedang ia gambar di kertas kecil. “Makanya aku suka ruang yang bisa diam tanpa terasa sepi. Itu ruang yang baik.”
Langit menatapnya lebih lama dari biasanya. “Itu kalimat bagus. Catat.”