Seperti Laut Kepada Langit

Yuli Harahap
Chapter #7

Bagian 7: Ruang Diskusi

Tara datang lebih awal sore itu. Gedung tua di pinggiran kota itu sudah mulai ramai, tapi suasananya masih hening seperti perpustakaan yang belum dibuka. Panel diskusi itu diselenggarakan oleh komunitas kecil yang selama ini hanya ia kenal lewat nama pengguna dan komentar, tempat ia menjadi K, dan tempat ia diam-diam menemukan ruang untuk bernapas.

Sore itu, ia mengenakan blus hitam sederhana dan rok selutut berwarna abu-abu tua. Rambutnya digulung sederhana di belakang kepala. Ia tak memakai riasan kecuali sedikit warna di bibir, nyaris seperti bayangan sore itu sendiri. Buku catatan kecil terselip di tangannya, dan ketika ia memberi salam pelan pada panitia, mereka mengenalnya bukan sebagai K, tetapi sebagai Tara Kalandra, nama yang lebih nyata, lebih rapuh, lebih bisa disentuh.

Salah satu panitia sampai menutup mulut takjub ketika Tara mendaftarkan diri dan mengisi absensi sebagai K, lalu untuk kemudian berkomentar, sangat masuk akal sekarang siapa di balik K.

Tara memaksa seulas senyum sopan. Tadinya ia sempat berpikir untuk tidak datang. Ia sedikit takut, terlalu takut, bahwa pertemuan dunia nyata akan merusak keheningan yang selama ini melindunginya. Tapi pesan dari salah satu rekan diskusi, Arslong, terlalu tulus untuk diabaikan:

Kami undang kamu hadir sebagai peserta, bukan pembicara. Hanya ingin membuat ruang yang pernah kamu isi, jadi nyata.

Tara duduk di barisan keempat dari depan, cukup dekat untuk mendengar, tapi cukup jauh untuk tak perlu merasa ditatap. Ia memperhatikan orang-orang yang datang satu per satu. Ada wajah-wajah baru, dan beberapa nama yang tiba-tiba punya tubuh: Gergasi, Kulit Pinang, bahkan admin forum yang selama ini hanya bicara lewat emoji dan referensi buku-buku lawas dan berita terkini.

Dan kemudian, ia datang, lelaki itu.

Tara tak menemukan yang janggal, tapi mungkin raut wajahnya yang hangat, atau bisa jadi karismanya yang menguar, membuat Tara memperhatikan gerak lelaki itu.

Tinggi, berkulit hangat, mengenakan kaus biru pucat dan jaket abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan. Ia menoleh ke kursi-kursi kosong dan memilih duduk dua bangku dari tempat Tara berada.

Ia tampak akrab dengan salah satu panitia. Sesekali tertawa, tapi selebihnya lebih banyak diam. Matanya tajam tapi tidak menusuk. Dan saat moderator menyapa nama lengkapnya, Tara merasa waktu membeku sebentar:

“Kita sambut, Langit Mahardika—arsitek, sutradara ruang, dan kontributor tetap kita, skyfold.”

Nama itu seperti batu kecil yang jatuh ke danau dalam pikiran Tara, menciptakan riak ke segala arah. Tara tidak menunjukkan apapun, tapi tangannya mencengkeram buku catatan lebih erat.

Lelaki yang sering menanggapi komentarnya dengan keheningan paling jernih.

Yang tahu cara bertanya tanpa memojokkan. Yang membaca kata-katanya bukan untuk membantah, tapi untuk mendengarkan.

Langit.

Tara tidak tahu harus merasa apa. Tapi ia tahu, tubuhnya diam-diam mulai menghafal gerak lelaki itu. Caranya berdiri dan maju ke depan, menyampaikan hal-hal luar biasa dengan sederhana. Menghapal gerakan tangannya saat bicara, cara duduknya. Cara mengangguk kecil saat mendengar argumen orang. Bahkan cara ia memainkan ujung penanya di antara dua jari, seperti sedang menahan kalimat agar tidak lepas sebelum waktunya.

Diskusi dimulai. Topiknya adalah, Menamai Ruang, Mengingat Diri.

Lihat selengkapnya