Langit selalu percaya bahwa beberapa pertemuan bukan kebetulan, melainkan ulang tahun kecil bagi takdir.
Gedung tua itu masih seperti terakhir kali ia datang bersama Tara, juga anggota diskusi lainnya—catnya mengelupas, jendela-jendela tinggi membingkai langit sore yang mulai meredup, dan lantainya berderit halus saat diinjak. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam diam ruang ini, gema keheningan, diskusi yang membentuk mereka, dan sejenis kesepakatan diam-diam bahwa tempat ini bukan hanya ruang, tapi pelindung gagasan.
Raini berjalan di sampingnya, langkahnya ringan seperti nada pertama dari lagu yang belum selesai. Ia menatap gedung itu dengan rasa penasaran yang ditahan, tak seperti kebanyakan orang yang langsung bertanya.
“Ini tempatmu sering datang?” tanyanya lembut, matanya menyapu fasad kusam bangunan.
Langit mengangguk. “Tempat banyak suara, yang tidak selalu keras, tapi selalu dalam.”
Ia membuka pintu, membiarkan Raini masuk lebih dulu. Di dalam, sudah ada beberapa wajah yang ia kenal. Tapi hanya satu yang membuatnya benar-benar tenang.
Tara duduk di pojok ruangan, mengenakan blus hitam dan ekspresi yang tidak pernah terburu-buru. Ia sedang membaca sesuatu, dengan tangan kirinya menyangga kepala, dan satu jari telunjuk bermain pelan di tepi buku.
Langit mendekat, mengangkat tangan sebentar. “Tara.”
Tara mengangkat wajah. “Langit.” Matanya lalu beralih ke perempuan di sampingnya.
“Ini Raini,” ucap Langit. “Temanku. Desainer interior, tapi pikirannya suka nyasar ke mana-mana. Kupikir kalian harus bertemu.”
Ada jeda aneh di antara mereka, seakan waktu memberi ruang untuk sesuatu yang lebih dari sekadar nama. Mata mereka saling menyerahkan, untuk ditelusuri satu sama lain. Mereka jelas tampil dengan cara yang berbeda, merias diri dengan cara berbeda, fitur wajah mereka juga jelas berbeda. Tapi baik Tara dan Raini menemukan kesamaan mereka dalam memandang, iris itu persis milik satu sama lain.
Raini lebih dahulu menguasai suasana, ia menyapa dengan senyum hangat yang tak pernah gagal mencairkan udara tegang. “Senang akhirnya bertemu. Langit sering menyebut namamu saat bicara tentang tempat ini.”
Tara tersenyum tipis, menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Ia juga menyebut namamu saat pertama kali kami bicara. Kamu suka membaca?”