Di usia 29, Tara tak lagi mudah memanggil siapa pun sebagai teman. Dunia telah mengajarinya bahwa tak semua yang mendekat berniat tinggal, dan tak semua yang tinggal tahu cara mendengar. Tapi pertemuannya dengan Raini membawa pertemuan-pertemuan terencana, yang tentu saja menyenangkan. Raini sepertinya mahir betul menciptakan dunia yang begitu hangat dan mengundang siapa saja untuk betah di sana. Ia membawa tawa yang renyah dan sorot antusias yang tulus. Meski gadis itu lebih mudah dari Tara, ia bersikap sangat dewasa dan bijak.
Tara merasa berbicara dengan Raini seperti sudah sebuah rutinitas yang lama ia lakukan, meski baru sebentar. Ada ruang yang tiba-tiba terasa aman untuk bercerita tanpa merasa takut tidak diterima, untuk tertawa tanpa harus menjelaskan konteksnya. Ia mendapati dirinya berkata jujur, lebih jujur dari biasanya, bahkan tentang hal-hal kecil yang dulu hanya muncul di kepala lalu tenggelam begitu saja.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, Tara merasa harinya terasa lebih ringan. Bukan karena bebannya hilang atau karena merasa hidup yang terlewat begitu buruk, tapi karena akhirnya ada seseorang yang mau berjalan di sampingnya, tanpa menunggu dan menebak-nebak akan seperti apa reaksi yang akan Tara berikan.
Seperti hari ini. Hujan turun sejak sore tadi, menyelimuti kota dalam kesunyian yang jernih. Di sudut sebuah kafe kecil yang tersembunyi di antara gang sempit dan pohon flamboyan tua, Tara dan Raini duduk berhadapan. Mereka berjanji bertemu untuk meikmati waktu di perpustakaan kota. Raini sudah lama ingin, tapi ia tetaplah perempuan urban yang lebih suka menghabiskan tempat mengagumkan dengan teman. Maka sepanjang hari mereka menelusuri sudut perpustakaan, menyentuh buku-buku tua yang menarik minat.
Tara dan Raini sudah beberapa kali bertemu, biasanya setelah sesi diskusi yang panjang di ruang komunitas. Pertemuan mereka tak pernah dirancang, hanya kebetulan yang diulang oleh kenyamanan. Tara bukan tipe yang mudah mengulang pertemuan dengan orang yang tidak ia rasa pantas. Tapi Raini berbeda. Ada yang tenang dari cara perempuan itu berbicara. Tak banyak bertanya, tak banyak menghakimi. Tara tidak menghindar dari kehadirannya, dan itu sendiri sudah jarang terjadi.
Tara membuka buku catatan kecilnya, mencoret beberapa hal. Ia sering membawa buku itu ke mana pun. Bukan untuk menulis puisi atau kisah, hanya serpih-serpih pemikiran yang datang seperti hujan, kadang cuaca, kadang hanya aroma.
Mereka melanjutkan percakapan kecil, sebagian besar tentang topik yang netral, buku yang baru dibaca, tulisan-tulisan di ruang diskusi, dan kadang film-film pendek yang sedang ramai dibicarakan. Raini sering mengarahkan pembicaraan ke arah yang bisa mereka refleksikan bersama, tapi tidak pernah terlalu pribadi.
“Aku selalu kagum dengan cara kamu merespons,” kata Raini pada satu titik. “Kamu seperti menyimpan jarak, tapi tidak membuat orang merasa ditolak.”
Ini juga pertama kalinya, setelah semua kisah masa lalu di mana Tara berada dalam kondisi tak pernah cukup, tentu saja lewat pengakuan-pengakuan di sekitarnya.
Tara tersenyum kecil. “Mungkin karena aku tidak merasa perlu dekat. Tapi tidak juga merasa perlu jauh.” Ia ingat saat beberapa kali belajar membuka diri dengan lingkup pertemanan sekolah hingga universitas, Tara hanya belajar bahwa semua orang menyukai teman yang seminat dengan mereka, mau diajak pergi nongkrong, mengerjakan pr bersama, cabut bersama dan lain sebagainya.
“Seimbang,” ucap Raini sambil mengangguk. “Langka.”
Tara tak menjawab, hanya menatap keluar jendela. Tetes hujan masih jatuh, tapi tak lagi deras. Suasana di luar remang. Dalam diam itu, Raini memandangi wajah Tara yang selalu tampak tenang, bahkan ketika matanya kosong. Ia tidak tahu pasti, tapi ada sesuatu dari perempuan itu yang mengingatkannya pada senyap yang akrab.
Raini tak pernah menanyakan keluarga Tara, atau masa lalunya. Dan ia tahu Tara menyadarinya. Ia hanya tahu bahwa ada sesuatu yang tak ingin Tara bagikan. Bukan karena trauma, bisa jadi karena hanya tidak merasa perlu. Dan Raini menghormati itu.