Pagi-pagi sekali ketika Tara membuka ponsel, ia sudah menemukan pesan Raini di sana.
Aku tahu kamu bukan tipe yang suka keramaian, tapi kalau kamu nggak keberatan, maukah kamu ikut aku dan Langit ke taman kota hari ini? Aku ingin menggambar dan butuh teman yang tidak terlalu ribut.
Tara membaca pesan itu saat menyeduh kopi. Biasanya, ia akan membiarkannya tak terjawab selama beberapa jam. Tapi kali ini, ia menjawab segera.
Jam berapa?
Raini membalas dengan emotikon senyum dan waktu janji temu. Itu sederhana, tapi Raini selalu tahu cara tidak membuat Tara merasa terpaksa. Ia menyusun undangan seperti memberinya pilihan, bukan beban.
Akhir pekan datang dengan langit mendung dan angin lembut yang tak terlalu dingin. Kota itu masih setia pada ritmenya yang cepat: toko-toko sudah terbuka, jalanan mulai ramai, dan suara kendaraan yang melintas menambah bising kota. Sekali dua kali terdengar suara burung gereja terdengar dari celah-celah atap.
Mereka bertemu di taman yang luas, penuh pohon tinggi dan jalur pejalan kaki berkelok. Raini memilih tempatnya, di pinggiran kota tempat biasa ia menghabiskan kesendirian ketika semua terasa pekat.
Tara datang lebih dulu, rumahnya berjarak hanya beberapa kilometer dari lokasi mereka bertemu. Ia memilih duduk di bangku yang menghadap kolam. membawa buku bacaan terbaru, buku puisi Aan Mansyur, Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau. Lainnya semua ada dalam tas kecilnya, termasuk catatan yang selalu di bawa ke mana-mana.
Tara sadar, ia tak lagi banyak merenungi waktu belakangan, kecuali untuk tulisan-tulisan terbarunya. Sekarang saat ia menatap lurus ke arah taman yang lapang, Tara menyadari satu fase baru benar-benar utuh menyapanya. Minggu yang cerah, ia tak hanya duduk di beranda rumah dengan laptop di tangan atau hanya sekedar duduk menikmati teh bersama ayahnya.
Tadi saat Tara berpamitan, ia bisa menemukan raut wajah ayahnya yang terlihat bingung, tapi sekaligus ragu untuk bertanya. Tara menjelaskan sedikit, bahwa ia akan bertemu seorang teman, hanya itu.
Tak lama, Raini datang sambil menenteng tas kanvas besar, dan di belakangnya menyusul Langit, yang mengenakan jaket tipis dan sepatu berdebu, terlihat lebih segar dari semua waktu ketika mereka bertemu.
“Maaf, aku bawa satu orang lagi,” ucap Raini ringan. “Tapi dia janji tidak akan banyak bicara.”
Langit hanya tersenyum dan mengangkat tangan, menyapa. Tara mengangguk singkat. Terkadang Tara masih bingung menanggapi kehadiran lelaki itu kecuali di ruang diskusi mereka. Meski mereka sudah banyak bicara, sudah saling bertukar pemikiran dan sudah meninggalkan banyak kesan, namun Tara masih tidak memahami pasti bagaimana ia ingin bersikap. Ini hal baru lainnya, Tara mulai memikirkan kesan yang baik untuk ditinggalkan.
Setelah keduanya bergabung, mereka bertiga memilih tempat teduh di bawah pohon besar. Raini mengeluarkan buku sketsa dan kotak bekal dari tasnya, roti lapis, potongan buah, dan botol teh.
“Kamu nggak bilang ini konsepnya piknik.”
Raini tertawa kecil sambil menawarkannya. Tara mengambil satu potong kecil, Langit juga.
Mereka makan perlahan.
“Emang rencananya bukan itu, kita di sini sampai jam makan siang aja. Kalau kamu mau aku pengen ngajak kalian ke salah satu kafe dengan interior paling bagus di dekat sini, tentu saja aku desainernya,” Raini tertawa lagi sambil menyingkirkan remahan roti di sudut bibirnya. “Tapi aku mau melukis dulu.”
“Jadi kami akan menontonmu melukis?” Langit bertanya dengan raut wajah yang pura-pura kecewa.