Langit melajukan mobil kembali, menembus kemacetan yang mulai menggila. Hujan kian deras. Wiper bekerja terus-menerus. Tara menoleh ke jendela, menatap bayangan lampu-lampu kota yang tercabik air.
“Kalau kamu ingin diam,” kata Langit tiba-tiba, “aku tidak keberatan.”
Tara mengangkat bahu. “Aku tidak merasa perlu bicara, kalau tidak perlu.”
Langit tertawa pelan. “Itu kalimat yang kamu tulis di profil media sosial kamu, bukan?”
Tara menoleh perlahan. “Kamu hafal?”
“Aku melihat profilku hanya sekali dua kali, tapi aku selalu penasaran hal baru apa yang akan kamu bagi, meski sangat jarang.”
Tara tak menjawab. Ia hanya menatap profil wajah Langit dari sisi. Ada garis tegas di rahangnya, alis yang selalu tampak sedang berpikir, dan sorot mata yang tajam meski hari mulai gelap.
“Raini menyebutmu pendiam. Tapi aku tidak menganggapmu pendiam,” lanjut Langit. “Kamu hanya… hemat bicara. Tapi pikirannya bergerak terus.”
Tara membiarkan kalimat itu menggantung. Ia tak tahu harus menanggapinya dengan apa.
Setelah beberapa saat, Langit berkata, “Kamu suka musik?”
“Kadang,” jawab Tara.
“Apa?”
“Yang tanpa lirik. Piano, kadang gitar akustik. Musik yang tidak memaksakan makna.”
Langit tersenyum samar. “Aku juga.”
Mobil bergerak lambat, tersendat. Di luar, klakson bersahut-sahutan, suara hujan menepuk kaca.
“Aku selalu penasaran,” kata Langit, nadanya santai tapi nadanya mengandung sesuatu yang dalam. “Kenapa kamu tidak pernah bicara lebih banyak dalam diskusi? Padahal… jelas kamu tahu banyak.”
Tara mengalihkan pandangan ke hujan. “Karena tak semua hal perlu dibicarakan. Beberapa hal, kalau dibicarakan, justru kehilangan makna.”
Langit menoleh sebentar. Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu berhenti. Lalu Langit tersenyum kecil.
“Raini banyak bicara. Tapi dia tahu caranya membuat diam jadi nyaman juga.”