Sepertiga Waktu Dalam Rasa Rindu

Alfan Hasanah
Chapter #8

Sekolah Kecil di Ujung Desa

Sekolah Kecil di Ujung Desa

Pondok Pesantren tempat Hamzah belajar menimba ilmu bukanlah sekolah yang megah. Pada saat pertama kali masuk ke sekolah itu Hamzah hanya melihat satu bangunan yang telah berdindingkan tembok, sedangkan bangunan lain masih terbuat dengan dinding-dinding bambu.

Saat itu bertepatan pada tahun 2010.Untuk tahun yang sudah semaju itu, perangkat-perangkat eletronik sudah berkembang dengan begitu cepat. Sekolah-sekolah lain telah berlomba-lomba menciptakan generasi yang handal. Baik dari segi intelektual, agama, maupun kemampuan menggunakan perangkat eletronik. Namun di sekolah tempat Hamzah dii didik, jangankan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan perangkat eletronik, perpustakaan saja mereka belum punya. Namun semangat belajar santri sangat terlihat jelas, kemauan menimba ilmu serasa mengalir di setiap langkah yang mereka injakkan di atas tanah yang berhiaskan rumput-rumput liar.

Ketika siswa lain belajar dengan gedung yang tertata rapi, Hamzah dan teman-teman belajar dalam gedung yang berhiasan lumut yang tumbuh di sela-sela dinding yang terbuat dari pohon-pohon bambu.

Saat sekolah lain dapat berteduh dari teriknya matahari dan deraian air hujan, Hamzah dan teman-temannya masih harus berperang dengan teriknya cahaya mentari yang masuk melewati sela-sela atap yang sudah rusak, dan harus menghentikan pembelajaran dikelas ketika turunnya air hujan.

Sewaktu hujan turun menghiasi sekolah itu, tampak jelas genangan air menghiasi tanah-tanah yang berlubang. Terlihat jelas juga gelanangan air itu menyapu dan menari-narikan dedaunan yang bertebaran di tengah lapangan.

Kalau hujan telah membasahi sekolah itu, maka proses pembelajaran didalam kelas sering kali terhenti karena atap hanya terbuat dari rumbia. Terlihat anak-anak yang belajar di dalam kelas itu memindah-mindahkan kursi dan meja belajar mereka. Kadang tetesan air hujan juga menetes ke beberapa buku pembelajaran yang mereka bawa. Namun semua itu tidak membuat mereka berkecil hati, semua itu tidak membuat mereka bersedih, semua itu tidak juga membuat mereka malu.

Mereka terus belajar dengan memanfaatkan waktu yang terus berjalan tanpa pernah mampuh mereka hentikan.Bagi siswa-siswi yang belajar di pesantren, setiap kali matanya belum terpenjam dalam naungan mimpi di malam hari, maka setiap waktu itu mereka belajar dan terus belajar.

Hvn

Pada suatu siang, salah satu guru datang menghampiri siswanya sambil membawa cangkul dan parang. Bapak itu menggulung kaki celananya, mengangkat lengan bajunya, dan berkata “Hari ini kita tidak belajar.”

Sontak kata-kata itu membuat wajah santrinya terlihat bahagia. Guru itu berkata kepada salah seorang muridnya “Joni, tolong kamu ambilkan bola didalam secretariat.” Secretariat adalah satu-satunya bangunan yang berhiaskan tembok di tempat itu. Dengan ukuran lebar 4 meter dan panjang 7 meter, secretariat menjelma menjadi ruangan kepala sekolah, ruangan guru dan ruangan tempat segala barang-barang sekolah di letakkan.

Sambil memegang bola yang telah di ambilkan sang murid bapak itu berkata. “Siapa yang mau main bola?” kata bapak itu sambil memainkan bola itu di tangannya.

Maka secara spontan semua anak laki-laki yang dia hampiri mengacungkan tangannya, termaksut salah satu di antara murid-murid terlihat Hamzah duduk terdiam mendengarkan ucapan sang guru.

Guru itu kembali berkata “Ayo kita jalan kaki menuju lapangan.” Mendengar ucapan sang guru, wajah pencari ilmu yang tadinya semangat tampak kembali lesuh. Semangat mereka seolah terurai membayangkan betapa jauhnya lapangan yang ingin mereka hampiri.

Berkata salah seorang murid “Pak, lapangan itu jaraknya dari sekolah kita jauh pak, belum lagi kita tidak mengetahui apakah lapangan itu sedang dipakai oleh orang lain atau tidak.” Jelas murid itu sambil mencabut rumput-rumput liar yang berada di dekatnya.

“Hmmmm” guru itu bergumam kecil sambil berkata “Kalian semua mau untuk terus olah raga pada setiap jam pembelajaran olah raga?” Tanya bapak itu sambil jongkok di dekat murid-muridnya.

Beberapa murid menjawab “Tentu kami mau pak. tidak mungkin kami tidak mau.” “Tapi caranya bagaimana pak?” tanya salah seorang murid yang menambahkan.

Hamzah saat itu tidak mengeluarkan kata-kata sama sekali, dia hanya sibuk dengan pena yang dia mainkan di sela-sela jarinya. “zah” tegur bapak itu, “iya pak” jawab Hamzah.

“Kamu dari tadi bapak perhatikan sibuk saja seorang diri, kamu ada masalah?” Tanya bapak itu. Lalu Hamzah menghentikan memainkan pensil di tanganya dan segera meletak pensil itu ke dalam saku celananya dan berkata “tidak pak” jawab Hamzah sambil terseyum.

Bapak itu kembali berdiri sambil bertumpu pada cangkul yang telah di bawa sebelumnya, dia angkat cangkul itu dan berkata “Kalian lihat tanah itu, Bagaimana kalau kita main bola disana?” Sambungnya.

Salah seorang anak menjawab ucapan bapak itu dengan berkata “Kita tidak bisa main bola di situ pak, tanahnya miring.” Tegasnya “benar pak, untuk jalan saja kita sudah susah, apalagi untuk berlari sambil bermain bola.” ucap Jonimembenarkan temannya.

“Kalian benar, kita tidak akan bisa main bola di sana dengan keadaan yang seperti sekarang. Tapi kalau kita mau merubah sesuatu, kita akan mendapatkan sesuatu pula nantinya.” Kata bapak itu menjelaskan kepada murid-muridnya. Sambil berbalik badan dan melihat kearah yang dia tunjuk sebelumnya, Guru itu berkata “Mari tolong bapak, kita sulap tempat itu menjadi lapangan untuk kita bermain.”

Guru dan murid itu bergegas memulai niat mereka, cangkul dan parang menjadi pena mereka untuk menghiasi tempat itu dengan hiasan yang mereka inginkan. Ada murid yang tampak terus semangat mengayunkan cangkul di tangannya, ada murid yang tampak santai mengayunkan parang yang mereka genggam. Sedangkan Hamzah saat itu terlihat berdiri dan bersiap-siap menggantikan temannya yang tampak kelelahan.

Lihat selengkapnya