Sepi dan Emosi

Senna Simbolon
Chapter #1

Sembari menunggu mati

~Entah itu keajaiban atau malah malapetaka yang menambah sengsara, kami tetap menanti di jarak yang berbeda. Dan tujuanku masih sama, memastikannya tetap bernyawa~

❤☺❤

Aku mengutuki diri yang tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Kepalan yang terbentuk, melayangkan tinjunya pada sebatang pohon yang telah menua. Meski tanpa salah, pohon tua itu akan menjadi sasaran yang tepat untuk menyadarkan diri yang lari entah ke mana. Berkali-kali kulayangkan hingga memar dan darah mulai mengucur dengan semangat. Sama sekali tak ada bandingnya dengan hati seseorang yang kini telah menjadi perih tanpa kata.

Ini belum setimpal, belum ada apa-apanya dan sekuat apapun aku menghancurkan diri, hal yang dulu indah takkan pernah kembali dengan sempurna. Bahkan untuk secuil kata bahagia pun, tidak mungkin lagi. Semesta telah menjebak kami dalam tawa duka. Meski telah memerah, mataku tetap tidak mengeluarkan tangis yang berair. Mungkin inilah konsekuensi atas semua hal yang telah kulakukan.

Rute yang sama telah kulalui selama lima tahun terakhir. Ubin trotoar telah direnovasi, bunga-bunga telah diganti, bangunan juga ikut bertambah tanpa henti. Namun, alasanku melewatinya masih sama. Memukul batang pohon berkali-kali, meratapi diri, lalu bangkit dan berjalan untuk memastikan semua aman terkendali. Terkadang aku juga masih mengharapkan semua adalah mimpi, meski hal itu sudah tidak mungkin lagi. Sebelum sampai pada tujuan, selalu kuperiksa hati agar mampu berdiri di atas kaki. Agar kekuatan masih mampu berpijak tanpa letih. Satu, dua, tiga… dan aku sampai di tahap akhir.

Seperti biasa, gadis itu masih menggunakan bangku yang sama, penampilan yang sama dan raut wajah yang tidak pernah berubah. Tatapannya kosong, pandangannya samar tak peduli akan sesuatu yang lalang. Angin lembut menerbangkan beberapa helai rambut. Hanya hembusan itulah yang menyadarkan orang-orang bahwa gadis di bangku masih hidup.

Aku akan menunggu sampai ia selesai melakukan rutinitas yang tiada arti. Aku berani mengatakannya karena kini, pandangan bahkan perasaannya telah karam. Tubuh kekarku selalu kusembunyikan beberapa meter dari posisinya yang tak kunjung berubah. Setiap hari, pukul empat sore hingga tujuh malam aku ikut menanti sesuatu yang tidak pasti. Entah itu keajaiban atau malapetaka yang menambah sengsara, kami tetap menanti di jarak yang berbeda, meski di taman yang sama.

Mengawasi dari dekat lebih sulit, apalagi tidak mampu menyentuhnya walau sedikit. Sore ini pun lebih terik dan sialnya tidak ada yang memperbolehkanku memberinya teduh setitik. Saat semua hal buruk bergulat di depan mata, aku hanya diperbolehkan menonton tanpa komentar. Helaan napas panjang berulang-ulang kulakukan agar hati lebih sedikit tenang. Gadis cantik berambut panjang itu akan baik-baik saja. Sambil memperhatikan keberadaannya, tangan mulai merogoh ke dalam saku celana. Obat merah akan mengurangi beban luka yang menjadi sasaran pohon tua. Kutetesi tanpa membersihkannya terlebih dulu, sekarang perih jadi terasa. Rupanya gadis itu memengaruhi kekuatan hati, saat dekat dengannya sungguh aku melemah.

Seekor anjing ras berwarna putih mendekati gadis di bangku dan aku menunggu reaksi yang mungkin muncul. Hewan kecil itu sangat lucu dan tidak akan membahayakan. Dengan tubuhnya yang sangat mungil, ia mencoba lompat untuk menaiki gadis cantik yang sendirian.

Sungguh sangat disayangkan, ia masih diam hingga anjing mungil memilih diam dan tidur di punggung kaki yang tertutupi flat shoes berwarna biru. Tidakkah ada niatnya menyentuh si bulu lucu? Hingga tiba-tiba seorang perempuan menghampirinya, meraih apa yang menjadi miliknya dan mengendong dengan lembut. Suara anjing itu mengeluh pilu, seakan masih ingin menetap di kaki yang membeku. Adakah yang hewan mungil itu rasakan? Adakah tanda-tanda mujizat untuk datang? Pemilik anjing itu terlihat meminta maaf dengan menganggukkan kepala. Samar-samar terdengar.

“Maafkan anjing saya mbak, ia sedikit nakal belakangan....” Perempuan bertubuh tinggi itu sedikit kesal karena permohonannya tidak digubris sama sekali. Dengan dumelan tanpa suara ia membawa anjing kecilnya pergi.

Wajar saja perempuan itu marah, kalau aku di posisinya juga akan marah. Ia hanya melakukan kesalahan kecil, namun permintaan maafnya seperti tiada arti. Karena tidak ingin orang-orang menaruh dendam di hati atas respons yang tidak akan pernah didapati, aku selalu berlari mendapatkan mereka. Sebisa mungkin kujadikan diri ini tameng. Meski baginya hidup sudah tidak lagi berarti, setidaknya tidak akan kubiarkan orang-orang membenci tanpa tahu yang sebenarnya terjadi.

“Mbak… mbak… maafkan adik saya ya….” Napasku sedikit ngos-ngosan karena takut kehilangan target. Apalagi sampai salah orang, sungguh sebuah ironi.

“Adik? Yang mana?” Dahinya mengerut mengisyaratkan tak tahu apa yang kumaksud. Aku menunjuk ke arah gadis yang masih sendiri dengan pikirannya, yang barangkali sedang berkecamuk menghadapi hidup.

Lihat selengkapnya