Sepi dan Emosi

Senna Simbolon
Chapter #2

First time

~Sangat sulit menemukan orang yang tepat. Namun bila sudah bertemu, kita bisa merasakan bahwa ia adalah orang yang sempurna untuk diberi kesempatan untuk singgah~

❤☺❤

Bocah lelaki bertubuh gempal itu memutuskan tidak bergabung dengan teman-teman sekelasnya. Ia sedikit merasa asing dengan dunia luar ketika tanpa Ibunya. Sedari pagi mulutnya bungkam, menjauh dari kerumunan dan memilih memperhatikan saja. Ikut terlibat masih sangat jauh dari keinginan hati. Sebenarnya ia ingin sekali menangis dan meminta pulang, tapi ia telah berjanji akan menunggu sang Ibu kembali.

“Nanti Mamah jemput sepulang sekolah. Jadilah anak baik dan jangan nakal ya! ” Ibunya membungkukkan badan, memberi senyum manis serta mengelus pipi gembul anak semata wayangnya.

“Tapi jemputnya jangan lama-lama.” Pipi gembulnya bergetar dengan sempurna. Senyum sang Ibu semakin mengembang mendengar jawaban anaknya.

“Iya, Mamah akan pulang kerja lebih cepat.” Segera di daratkan kecupan pada dahi si gembul. Melempar senyum pamit pada seorang guru TK yang dipercaya dan langsung beranjak dengan cepat. Mungkin sudah hampir terlambat.

Ia memang masih sangat kecil, tapi ia sudah tahu artinya kematian. Dua tahun telah berlalu semenjak mereka kehilangan sosok kepala keluarga. Bocah lelaki itu tidak pernah mengucapkan rindu atau sekadar membahas kejadian masa lalu. Ia takut Ibunya menangis kala malam berganti. Kini Ibunya harus bekerja ekstra untuk keperluan keluarga. Memerankan dua sosok sekaligus memang perlu mendapat apresiasi lebih. Belakangan, ia sering dititip pada tetangga karena jarak rumah keluarga yang terlalu jauh.

Sekarang ia telah menduduki bangku TK. Ia juga tidak ingin membuat sang Ibu kesusahan. Terkadang anak kecil lebih mudah diajak berkompromi, bahkan lebih mampu menjaga agar luka tak menghampiri. Mereka memang hanya tinggal berdua, tapi cinta dan tawa selalu tersebar kemana-mana.

Ia bukan bocah cengeng, bukan pula bocah yang menuntut semaunya. Ia harus memahami setiap kondisi yang terjadi. Ibunya sedang berjuang keras dan berusaha membuat mereka bahagia. Memutuskan tanpa tangis adalah sesuatu yang sangat sulit.

Bocah lelaki itu masih berdiri di depan kelas untuk mendapat udara segar. Semoga waktu cepat berlalu, ia sudah sangat menantikan datangnya jemputan. Perhatiannya mengarah ke seluruh sudut taman. Ini hari pertama masuk sekolah, tapi teman-temannya sudah mampu bergaul satu sama lain. Ada yang bermain kejar-kejaran, bermain tepuk tangan, dan ada juga yang sibuk sendiri seperti dirinya. Memang taman kanak-kanak penuh dengan permainan. Sedari kelas dimulai mereka hanya perkenalan dan bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan.

“Kenapa tidak ikut bermain?” Seorang guru menanyainya dengan penasaran. Tatapan guru TK memang sangat teduh. Memberikan kesan nyaman bagi murid yang baru melihat dunia luar. Jawaban bocah lelaki itu hanya gelengan yang disertai senyuman dan ia berharap ditinggal sendirian.

“Baiklah.” Gurunya beranjak seolah mengerti apa yang diinginkan muridnya saat ini. Wajar saja hari pertama tidak menyenangkan. Lama-lama juga akan terbiasa dan malah akan membuat tidak ingin berpisah.

Lihat selengkapnya