Sepi dan Emosi

Senna Simbolon
Chapter #4

Berbeda

~Jangan berubah terlalu tiba-tiba! Lakukan secara perlahan agar tidak membuat orang-orang kebingungan, apalagi sampai jantungan~

❤☺❤

“Shopia sudah ijin kalau mau kesini?” tanya Mamah sembari mengatur makan malam di meja.

“Belum tante. Nanti habis makan aja deh.” Mata Shopia ikut menyipit kala senyum khas gingsulnya menyembur.

“Emang gitu tuh Mah, anak durhaka!” Kucoba menggodanya lagi dan berharap ia lebih kesal dari yang tadi siang.

“Tante, lihat Ann jahat banget!” Tangannya menunjukku seraya memasang wajah teraniaya. Menggemaskan, tapi seharusnya aku tidak lupa tempat untuk menggoda.

“Dra!? Kamu jangan gitu sama Shopia!” Mata mamah mendelik seolah ingin aku berhenti mengusik gadis cantik.

Dih… udah durhaka, tukang numpang makan, tukang ngadu pula!” tambahku menimpali.

“Tante, Pia ‘kan suka masakan tante. Jadi apa salah jika Pia makan di sini?” Hebat sekali gadis itu, matanya telah dibuat berkaca-kaca.

“Eh tadi kamu bilang aku yang mungkin lapar, ternyata yang lapar itu kamu! Lagian, kamu pikir Mamah akan belain kamu dibanding anaknya sendiri?” Ekspresi sombong pun terpasang dengan baik.

“Sudah… sudah Mamah kayak punya dua anak kecil aja! Nggak baik berdebat di depan makanan.” Aku dan Shopia tersenyum mendengar perkataan Mamah. Kami memilih tidak melanjutkan apapun lagi. Mamah mulai menyendoki makanan ke piring.

Betapa bersyukurnya aku punya Mamah saat ini. Semenjak kehilangan Papah, kami hanya memiliki satu sama lain. Mungkin hadirnya Shopia telah meramaikan suasana. Mamah sudah menganggap Shopia seperti putrinya sendiri. Terkadang mereka malah belanja berdua tanpa mengajakku. Andai kata kami ditakdirkan berjodoh, betapa mudahnya hubungan ini ke depan. Tidak perlu memusingkan restu, karena akan tersedia tanpa diminta.

Menyatukan ibu mertua dengan menantu perempuan bukanlah perkara yang mudah. Banyak selisih paham yang sering terjadi. Aku memang masih muda, tapi dari beberapa novel yang sering kubaca, begitulah adanya. Bukan bermaksud mempercayai semua hal yang berbau fiksi, namun aku memiliki keyakinan. Seorang penulis selalu mencurahkan pengalaman yang telah menyentuh inderanya. Percaya atau tidak penulis selalu membubuhi nyata, sekalipun diberi lebel fiksi pada karyanya.

Semisal aku dan Shopia ditakdirkan bersama, kebahagiaan Mamah juga akan semakin lengkap. Mamah akan lebih nyaman karena tidak memerlukan adaptasi lebih. Sudah sering kubayangkan, saat pagi datang dua perempuan yang kucintai selalu menyapa dengan tulus. Adakah yang lebih baik dari yang kupikirkan saat ini?

 “Masakan Tante emang paling the best deh.” Shopia mengacungkan ke dua jempolnya.

Eleh mulai deh rayuannya. Pasti ada maunya!” Mulutku memang selalu ingin nimbrung untuk menggoda Shopia.

“Apaan sih Ann? Iri tanda tak mampu.” Shopia mendengus dengan kesal.

“Daripada ribut, mending mikirin konsep acara ulang tahun kalian. Bagaimana Shopia?”

“Nah ini dia Tante! Gimana kalau kali ini kita liburan ke puncak Bogor? Tapi, Tante ngomong ya sama Papah?” Aku tidak percaya, sejak kapan ia ingin ke Puncak Bogor? Shopia memang menyukai suasana asri di taman, tapi sepertinya ia tidak pernah membicarakan tentang puncak. Apa aku melewatkan salah satu kalimat dari bibirnya? Jarak dari Jogja ke Bogor pun terbilang memakan waktu yang panjang. Lebih kurang sekitar 13 jam perjalanan.

“Tuh ‘kan bener! Ada maunya. Huuuu….” Ledekanku semakin berkobar.

“Bogor? Bukankah itu terlalu jauh Shopia?” Mamah pun tak kalah terkejut denganku. Kami saling berpandangan untuk menemukan alasan.

“Iya sih, tapi Pia ingin sesuatu yang berbeda di sweet seventeen. Tante, Ann dan Pia akan menikmati liburan bersama. Pasti sangat menyenangkan.” Telapak tangan Shopia menyentuh ke dua pipinya. Artinya ia sangat memimpikan hal ini.

“Paling tidak, kita butuh waktu 3 hari. Tante tidak yakin bisa mengambil cuti bulan depan. Ada program yang harus diselesaikan di tempat kerja. Belum lagi meminta ijin dari Papahmu.” Logika Mamah masih coba menerka halangan apa yang mempersulit keinginan Shopia terwujud. Dan semua itu benar adanya.

“Lagian keinginan kamu aneh-aneh aja deh. Ganti… ganti…!” Tempo suara menjadi cepat. Sungguh menurutku ini takkan berhasil, apalagi perihal meminta ijin pada Om Cakra, Papahnya Shopia.

“Kan bisa dirayain bulan April Tante. Kalau masalah ijin, Pia yakin kalau Tante yang ngomong sama Papah, semua akan aman terkendali.” Shopia mulai memasang wajah lugunya. Ini akan merepotkan Mamah.

Lihat selengkapnya