Lin berhenti mengayuh sepedanya. Dia berdiri menatap sebuah rumah berlantai dua bergaya minimalis modern. Sungguh cantik dengan jendela-jendela kaca yang lebar. Bersamaan dengan gongongan anjing, dari dalam rumah itu, keluar seorang perempuan berkulit putih. Mengabaikan Lin yang menunduk memberi salam, perempuan itu asyik melenggang, berlari-lari kecil dengan memegangi tali yang mengikat leher anjingnya.
Tidak salah. Lin yakin, inilah tempatnya. Sebelum rumah bagus ini berdiri, tanah tersebut adalah milik keluarganya. Delapan tahun silam terjual dengan sangat murah. Sekarang uangnya bahkan telah habis tanpa sisa. Kini, harga rumah di atas tanah itu bisa ratusan juta. Lin menarik napas dalam-dalam. Segera menepis pikiran andai-andai yang bertandang. Semua harus direlakan. Tanah itu dijual pun demi pengobatan sang ayah, bukan untuk foya-foya.
Lin kembali menaiki sepeda ontelnya. Mengayuh sekuat tenaga menuju pasar terdekat. Bunyi 'Kring! Kring! Kring!' mengiringi putaran rodanya. Sesekali dia berseru keras, "Semanggi! Pecel semanggi!"
Itulah Lin. Seorang gadis delapan belas tahun, berkeliling setiap pagi menjajakan pecel semanggi.
Pagi ini, Lin datang terlambat. Lokasi strategis di trotoar pasar sudah penuh terisi para pedagang. Menyesallah dia terlalu lama singgah di depan rumah mewah. Terlambat sedetik saja, lapak berjualan tak akan didapat. Ini hari libur. Banyak pedagang dadakan. Lin harus rela meletakkan keranjangnya pada tempat tersisa, paling ujung, tempat paling mustahil untuk didatangi pembeli. Namun, dia membesarkam hati. Tak apa, Tuhan telah menakar rezeki dengan adil. Begitulah cara Lin menyemangati diri sendiri.
***
Matahari mulai meninggi. Beberapa pedagang menggulung tikar. Lin menatap keranjang miliknya. Rebusan daun semanggi, kembang turi, taoge, juga sambal dari ketela, kacang tanah, dan cabai yang dihaluskan masih banyak tersisa. Hari ini, hanya lima bungkus terjual. Padahal esok ada seragam sekolah yang harus dilunaskan.
Keranjang itu dia angkat ke atas boncengan. Sepeda yang berkarat pada beberapa bagiannya kembali dia kayuh.
Perlu dua kilometer bagi Lin untuk sampai ke rumah. Dengan menuangkan oli pada rantai, sedikit bisa membuat pedalnya lebih ringan berputar.
"Laku dagangannya, Dek?"
Lin tersenyum, menyandarkan sepedanya di bawah pohon jambu air. Dari wajah kusut Tirta, Lin tahu jika adiknya itu pasti sedang kesal. Sedari tiga hari lalu, bocah dua belas tahun itu merakit sebuah mainan perahu. Semangat mengumpulkan baterai bekas milik tetangga, sebagai alat bantu penggerak pada perahu buatannya. Pagi ini, Tirta membawa lima buah. Sayang, dia bawa utuh saat pulang.