Lin mendongak. Menatap seseorang yang tengah berdiri di sampingnya dengan membawa beberapa lembar kertas.
"Terima kasih, Arif."
Setelah mematikan keran air, Lin meletakkan keranjang anyaman bambu yang berisi daun semanggi di atas kursi rotan panjang. Sudah bersih tercuci. Matanya berbinar menatap beberapa lembar kertas dari Arif.
"Akuntansi?" Lin kembali mendongak, senyumnya lebar.
"Aku tahu kamu suka pelajaran itu. Aku fotokopikan soal-soalnya sekalian."
"Wah, terima kasih!"
Arif menatap prihatin. Sayang sekali murid sepintar Lin harus putus sekolah tersebab biaya. Bukan sekolah menolak memberi beasiswa. Hanya saja, Lin harus mengurus adiknya, dan beasiswa itu tidak akan menanggung biaya makan sehari-hari mereka. Nasib masih baik ketika ada teman yang rela meluangkan waktu, tenaga, dan sedikit uang jajan untuk membaginya materi pelajaran, meski hanya berupa fotokopian buram.
"Ini kali terakhir aku bagi materi pelajaran."
"Eh? Kenapa? Sudahkah kamu lelah?" Lin tersenyum jail. Sudah tentu dia tahu Arif tak akan sejahat itu.
"Satu bulan lagi ujian nasional. Aku juga sedang persiapan masuk universitas."
Itu benar. Lin mengangguk paham.
"Dan kamu," Arif menatap serius, "bersiaplah ikut ujian paket. Kamu juga harus dapat ijazah. Bekerja di tempat yang baik."
"Mana mungkin bisa, Rif. Aku, kan–"
"Begitulah harusnya caramu membalas kebaikanku selama ini, Lin." Arif berkata tegas. "Semua materi dan soal-soal itu, aku bagi dengan tidak cuma-cuma. Itu untuk masa depanmu. Jadilah lebih baik dengan itu. Baru utang ini aku anggap lunas. Mengerti?"
"Jadi, ini utang? Aduh, betapa sulitnya aku bayar ini." Lin tertawa.