Seindah apa pun matahari yang baru terbit, tetap saja memedihkan jika terus ditatap. Sama seperti ketika Lin menatap rumah dua lantai yang berdiri indah di atas tanah yang dulu adalah milik keluarganya. Entah mengapa, setiap kali melewati tempat itu, kaki Lin selalu berhenti mengayuh. Seperti ada tangan yang menarik tengkuknya agar sesat berhenti melaju.
Ini masih terlalu pagi. Baru setengah enam. Anjing dalam rumah itu pun belum terdengar gonggongannya. Lin kembali bergegas, dia harus sampai di pasar dengan segera.
Tikar anyaman pandan segera Lin gelar. Begitu penutup keranjang berisi pecel semanggi dibuka, aroma bumbu ketela bercampur kacang tanah dan cabai, menguar seketika. Wajah Lin cerah. Bukan lantaran dia berhasil datang lebih pagi dan mendapat tempat strategis untuk melapak. Akan tetapi, tersebab satu campuran bahan yang jarang dibawa oleh pedangan pecel semanggi, ada dalam keranjangnya kini.
Lin berdiri, berdeham. Tangan kanannya ada di depan mulut serupa mikrofon.
Berseru Lin dengan lantang, "Semanggi! Pecel semanggi! Spesial pakai kembang turi! Semanggi, Semanggi!"
Kepalan tangan Lin meninju udara. Bersoraklah dia mendapati beberapa pembeli datang merapat. Bahkan ada yang sudah mengantre di penjual lain, memilih berpindah pada lapak Lin. Tidak sia-sia dia harus pergi ke ladang rumput, menyibak puluhan kambing yang digembalakan demi segenggam kembang turi. Sedikit rasa pahit dengan aroma yang tajam, nyatanya menjadi sensasi tersendiri bagi penikmat pecel semanggi.
Pukul tujuh, matahari naik lebih tinggi. Lin mengemas dagangannya. Ini bukan hari libur. Pembeli hanya datang pada jam sarapan, tak akan duduk-duduk hingga siang seperti halnya akhir pekan.
"Pak Bejo, nitip sepeda dan dagangan, ya, Pak!" Lin berseru pada tukang parkir gempal yang asyik menikmati semangkuk soto ayam. Laki-laki empat puluh tahun itu tersenyum sembari mengacungkan ibu jari. Aman. Begitu maksud gerakannya.
Uang dari Tirta, juga yang dia dapat pagi ini, sudah cukup untuk membayar cicilan terakhir seragam pada salah satu pedagang pakaian di pasar. Sebenarnya tidak ada seragam baru pun tak masalah. Beberapa bulan lagi pun, Tirta akan lulus. Hanya saja, betapa kasihan Lin melihat adiknya. Tak pernah mengeluh meski kemeja putihnya memiliki banyak tambal sulam pada beberapa bagian. Tak masalah, pikir Lin. Kemeja putih bisa dipakai untuk SMP juga.
"Sudah habis dagangannya, Mbok Win?" Langkah Lin terhenti di depan stan penjual tempe.
Mbok Win. Seorang nenek penjual tempe legendaris di pasar tempat Lin biasa melapak. Delapan puluh tahun lebih usianya. Setiap pagi, dia datang ke pasar bersama Suwito, putranya yang berjualan ikan. Suwito akan meninggalkan Mbok Win dilapaknya, lantas menghampiri ketika waktu pulang tiba.
"Lin? Heh, coba kamu hitung. Ada berapa itu uangnya, ya."