Sepotong Kisah tanpa Akhir

Ansar Siri
Chapter #2

Pasang Surut Rasa

Cepat atau lambat, keberhasilan akan menghampiri orang-orang yang bersungguh-sungguh.

---

Tiara mendadak lesu. Rasa capek sepulang kuliah dirasakannya mendadak berlipat ganda. Di kamar indekos, ia baru saja mengempaskan diri di kursi plastik di dekat pintu. Tafakur sambil menatap layar ponsel, membaca kembali email yang ia terima sejak di angkot tadi. Isinya penolakan dari redaksi salah satu penerbit tempatnya mengirim naskah novel sejak tujuh bulan yang lalu. Padahal, seminggu sebelumnya ia juga sudah menerima email serupa untuk naskah berbeda di penerbit yang lain. Tenang, masih ada satu naskah lagi, gumamnya dalam hati demi menyelamatkan semangat yang dirasakannya akan berguguran. Meski naskah itu sudah digantung lebih dari sepuluh bulan.

Kenyataan seperti ini terkadang membuat gadis lampai itu berniat mengubur impiannya untuk jadi penulis. Tapi, dari mana lagi ia mendapatkan penghasilan tambahan untuk biaya hidup kalau bukan dari menulis? Ia tidak punya passion lain. Gajinya sebagai pekerja paruh waktu di sebuah kafe kadang tidak cukup untuk sebulan. Beruntunglah, ada artikel, cerpen dan puisinya yang sering dimuat di koran dan majalah nasional. Dari sanalah ia meraup pundi-pundi tambahan. Meski ada juga beberapa media yang suka abai terhadap kewajiban setelah memuat karyanya.

Empat tahun sudah gadis berambut hitam panjang itu menetap di Makassar. Meninggalkan Bajoe—kampung halamannya—beserta sebuah kenyataan yang ingin ia lupakan. Awal menginjakkan kaki di Makassar ia menumpang di rumah Rani, sahabat yang dikenalnya lewat Facebook. Mereka pernah sama-sama memenangi sayembara cerpen yang diadakan oleh salah satu penerbit mayor. Melalui arahan Rani, ia kemudian bekerja di sebuah toko pakaian yang mengharuskannya berjaga dari pukul delapan pagi hingga pukul sepuluh malam. Libur yang hanya diberikan dua kali sebulan dengan gaji yang tak seberapa membuat pekerjaan itu terasa berat. Tapi, ia harus menjalaninya sukacita. Mencari pekerjaan hanya bermodalkan ijazah SMA tentu bukan hal mudah.

Daripada hanya berdiam diri ketika tidak ada pengunjung, Tiara makin giat menekuni hobi menulisnya. Dan selama setahun lebih bekerja di toko pakaian itu, ia berhasil merampungkan tiga naskah novel, puluhan cerpen, dan entah berapa banyak puisi. Awalnya ditulis tangan di atas lembaran-lembaran kertas, sebelum ia mampu membeli laptop bekas dari Rani. Begitu menerima gaji pertamanya, Tiara lekas mencari indekos yang dirasa cocok. Tak enak menumpang terus.

Tahun pertama jauh dari kampung halaman dilalui Tiara penuh tantangan. Berbagai upaya ia lakukan demi bertahan kala itu. Ia yakin, seiring berjalannya waktu keadaan akan membaik. Benar saja, berkat Rani lagi, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah kafe dengan jam kerja dan gaji yang jauh lebih bersahabat. Merasa punya waktu luang dan tabungan yang sudah cukup, ia memutuskan untuk kuliah, melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti. Selain menjadi penulis, cita-citanya untuk menjadi seorang dokter masih tersimpan rapi di ruang harap. Meski pada kenyataan, kini ia hanya mampu kuliah di Universitas Hasanuddin, mengambil jurusan bahasa, bukan kedokteran yang tentu butuh biaya selangit. Setidaknya masih bisa kuliah. Ini jauh lebih baik. Karena itu, ia merasa perlu berterima kasih secara khusus kepada Rani. Gadis berhijab itu telah banyak membantunya. Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga berada, Rani tak pernah bersikap sombong. Untuk ukuran penulis yang sudah memiliki tiga buku yang beredar di seluruh toko buku nasional, ia juga tak pelit ilmu kepada Tiara yang baru merintis. Tiara merasa beruntung bisa mengenal orang sebaik Rani.

Betapa pun sulitnya hari-hari yang dilalui Tiara, ada hal yang jauh lebih sulit. Mendamaikan hati pada takdir, pada sosok yang ia tinggalkan tanpa pernah mengiriminya kabar hingga saat ini. Meski kebencian yang bersarang di dadanya tak serimbun dulu, belum sekali pun terlintas di benaknya untuk kembali, atau sekadar mengetahui kabarnya. Sebisa mungkin ia tak memikirkan hal itu lagi, hal yang mampu mengacaukan harinya.

Tiara bangkit setelah mengembuskan napas berat dengan kasar. Jangan sampai ia jadi lemah karena penolakan ini. Ia harus ingat, sederet nama besar yang karyanya kini menyesaki rak koleksi bukunya, dulu juga berawal dari bukan siapa-siapa. Mereka juga pernah mengalami penolakan seperti yang ia rasakan sekarang. Termasuk Ustazah Qhumairah, sosok yang sangat diidolakannya. Sejak membaca buku pertamanya, ia langsung jatuh hati pada tulisan ustazah cantik itu. Tak jarang ia menjadikan karya-karya beliau sebagai referensi di setiap tulisannya.

Tiara mengambil handuk di dalam lemari, kemudian melangkah ke kamar mandi. Ia harus lekas siap-siap jika tidak ingin terlambat dan kena semprot. Sebelum pukul tiga ia sudah harus berada di tempat kerjanya, sebuah kafe yang berlokasi di Jalan Andi Mappanyukki.

***

Tiara tampak sibuk melayani pengunjung. Bakda magrib seperti sekarang ini memang lagi ramai-ramainya. Tiba-tiba Rani muncul dan menggaet tangannya, sedikit mengagetkan. Gadis berhijab abu-abu itu menariknya keluar dan mengajak duduk di teras kafe.

"Ran, aku masih kerja. Kalau ketahuan big boss bisa bahaya. Kamu tahu sendiri, kan, orangnya kayak apa." Tiara celingukan, memastikan dirinya aman dari pantauan Pak Hadi, sang pemilik kafe yang suka tiba-tiba muncul untuk memantau kinerja karyawannya.

Lihat selengkapnya