SEPTEMBER

Mona Cim
Chapter #8

Chapter 8 - Guru Kehancuran, Pak Darwos

Alea dan kedua orangtuanya melangsungkan makan malam bersama. Seperti biasa, ada saja yang mereka bincangkan di sela acara makan itu. Mulai dari sekolah Alea, kebiasaan Ela yang suka shopping, kepo sama tetangga, hingga soal cowok yang cocok untuk Alea. Alea biasanya hanya mendengarkan dan sesekali mengangguk, terlalu malas menanggapi celotehan kedua orangtuanya.

"Kakaknya Altan ganteng juga, ya. Kelihatan banget dia dewasa," celetuk Yoga.

"Tetap aja ganteng si Altan," sahut Ela.

"Kalau Papah pikir-pikir, Alea cocok banget sama Elfan. Kayak bisa diandelin aja si Elfan jagain Alea. Orangnya dewasa dan ramah banget," ujar Yoga lagi.

"Tapi Mamah setuju kalau Alea sama Altan. Mereka seumuran dan kelihatan cocok banget. Mamah jadi ingat masa muda kita," ucap Ela sedikit menjerit.

"Ih, lebay kamu, Mah. Kalau enggak karena jodoh, kita nggak mungkin bersama. Soalnya dilihat dari hubungan kita saat itu nggak terlalu baik. Berantem mulu kalau ketemu di sekolah. Pas dijodohin, baru deh kayak ada rasa gitu."

"Ya kan sama aja. Kita tuh cocok, makanya jodoh. Sama kayak Alea dan Altan. Inisialnya aja kembaran," balas Ela tak mau kalah.

Sementara Alea memantau keduanya sambil menyendok nasi dengan suapan besar ke mulutnya. Belum lagi gunung merapi di mulutnya meletus.

"Tanyain sama anaknya, suka Altan atau Elfan."

Lalu Ela menatap Alea sambil tersenyum manis.

"Alea sayang, kamu pilih Altan atau Elfan? Pasti Altan kan, Al? Secara dia keren, ganteng, kalian seumuran, dan berteman baik juga."

"Gimana Alea? Altan atau Elfan. Ya menurut Papah kamu cocok sama Elfan. Dia ganteng dan dewasa loh, Al. Dari pendidikannya aja dia udah kelihatan bakal sukses muda. Jangan salah pilih kamu." Kali ini Yoga yang mencoba memengaruhi Alea.

"Alea masih seneng jomlo, Mah, Pah," sahut Alea melanjutkan makannya.

"Hah?"

"Alea, jomlo nggak enak," ucap Yoga.

"Bener tuh. Kamu bakal kesepian dan iri sama yang punya gandengan. Miris hati kamu nanti," timpal Ela.

"Aduh, Mah, Pah. Kenapa kalian jadi ngomongin mereka sih. Alea nggak pilih siapa-siapa. Apalagi Altan, begajulan gitu," sahut Alea menyelesaikan sarapannya dengan meminum susu putih.

"Tapi dia ganteng, Al. Kamu nggak tertarik?"

"Udah deh, Mah. Alea berangkat dulu ya, Mah, Pah. Assalamu'alaikum," ucap Alea sambil menyalami kedua orangtunya.

Alea keluar dari rumahnya, atensinya tersita pada Altan yang tersenyum tengil sambil melambaikan tangan. Alea menghela napas, berjalan cepat turun dari teras.

"Pak Dawin! Anterin saya ke sekolah!" seru Alea pada sopir pribadi keluarganya.

Tampak seorang pria paruh baya bertubuh kurus keluar dari samping rumah, di mana kamar khusus pekerja rumahnya berada. Pria itu bernama Dawin, akrab si sapa Pak Dawin oleh keluarga Alea.

"Iya, Non Alea. Saya keluarin mobil dulu."

"Ya udah saya tungguin," sahut Alea.

"Alea! Ikut gue aja," panggil Altan.

Alea mengendikkan bahunya. "Ogah. Ntar rok gue terbang."

"Mana mungkin terbang, gue pelan-pelan kok bawa motor."

"Pelan apanya! Lo tuh kalau udah bawa motor persis kayak kerasukan setan! Segala mobil diselip, jalanan becek diterobos, apalagi tikungan gaya miring-miring segala. Mati muda gue!" cerocos Alea.

"Ya kan gue angkut My Tungau My-my bestie forever. Jadi gue bisa kurangin kecepatan," sahut Altan masih berdiri di samping motornya sendiri.

"Bodo," sahut Alea membuka pintu mobil ketika mobil Avanza merah telah ada di sampingnya.

Altan menatap sewot mobil itu yang melewatinya.

"Wuuuu! Jual mahal banget jadi cewek. Gue obral pasti nggak laku," cerca Altan sembari memasang helmnya. Altan menarik gas dengan kuat hingga motor yang ia kendarai melaju dengan sangat cepat. Membuat Lusi yang mengintip dari tirai mengelus dadanya sabar. Lusi geleng-geleng melihat kelakuan anaknya.

Lusi berbalik, Elfan tampak menghampirinya.

"Kamu denger sendirikan suara motor Altan tadi? Dia itu senang balapan. Kalau udah bawa motor lupa mati. Bunda jadi khawatir banget ninggalin dia, Fan."

"Bunda tenang aja. Elfan bakal jagain kok. Ada atau enggak ada Bunda di sini, Altan tetap kayak gitu. Dia itu udah keras kepala dari kecil. Pokoknya Bunda tetap harus ke Sukabumi hari ini. Kasihan Nenek, kalau apa-apa gimana? Bunda sendiri yang bakal nyesel," ujar Elfan memberi masukan.

Lusi menghela napas dan menganguk setuju.

"Iya deh. Kamu udah pesan tiketnya kan, Fan?"

"Udah. Bunda tinggal berkemas aja dan Elfan anterin ke bandara."

"Ya udah Bunda mau berkemas dulu."

***


Juan menghampiri Anita yang sedang memakai bedak padat sambil menatap cermin kecil di tangannya. Kebiasaan Anita yang selalu full make up walau memilih warna yang natural agar tak dapat teguran guru. Juan duduk di hadapan Anita sambil menatap ringan Anita.


"Halo, Anit ...."


Anita hanya melirik sekilas Juan dan melanjutkan kegiatannya. Kali ini Anita menambah polesan lipstik ke bibirnya.

Lihat selengkapnya