Prabu memasuki pagar kontrakan Nikky yang akan menjadi base camp mereka. Tepat saat itu Juan dan Baim membawa masing-masing dua mangkuk bakso di tangannya. Juan yang melihat Prabu merasa segera mendapat bantuan.
"Prab! Ambilin noh dua mangkuk bakso lagi."
"Bakso? Oke, saya juga dibeliin?"
"Yoi. Altan yang bayar," sahut Juan yang melangkah masuk ke dalam rumah.
"Siap," sahut Prabu berlari kecil keluar pagar menuju penjual bakso.
Juan dan Baim menaruh mangkuk bakso itu di atas meja depan sofa. Delan dan Nikky yang tadinya fokus pada ponsel masing-masing, langsung melepas benda pipih itu.
"Mantep! Eh, lu nggak minta sambel nih?" tanya Delan.
"Oh, iya. Gue lupa lagi. Padahal sambel is my life. Bentar, gue mintain dulu," sahut Juan kembali beranjak dari sofa. Namun langkahnya berhenti dan berbalik lagi. "Altan mana?"
"Tau. Tadi keluar pas ketakutan sama cicak," sahut Nikky.
"Oke, gue cari sekalian," sahut Juan melanjutkan langkah keluar rumah.
Prabu menatap mereka seperti ingin menanyakan sesuatu. "Altan beneran takut cicak?"
Delan yang sudah menyantap bakso melirik Prabu heran. Melihat wajah serius Prabu di hadapannya.
"Emang kenapa? Lo juga takut?" tanya Delan.
"Nggak. Saya malah suka bunuh cicak. Kata Eyang saya bunuh cicak itu dapat pahala. Jadi saya suka berburu cicak. Coba bayangin, kapan lagi ngebunuh dapat pahala? Saya ini psikopat cicak!"
Nikky menghentikan makannya sambil menatap Prabu datar. Baim juga, mereka berdua menatap Prabu datar.
"Ke-kenapa? Oh, saya bukan psikopat beneran kok. Cuma cicak, jadi jangan ngerasa saya ini mengancam keselamatan kalian," ujar Prabu lekas menjelaskan. Takut kalau ia diusir bahkan dihindari.
"Lo waras? Sumpah gue nanya serius," tanya Nikky.
"Tadi sampai ke sini nggak ada bentrok sesuatu gitu?" timpal Baim.
"Wah, kalian nggak bisa ngomong gitu. Saya waras dan omongan saya tadi serius," protes Prabu.
"Ya udah nanti lo tangkap semua cicak yang ada di base camp ini. Biar Altan nggak takut lagi," ujar Delan menyudahi.
"Beres. Nanti bawa peralatannya."
"Lo ngebunuh pakai apa emang?" tanya Delan.
"Pakai centong besi. Eyang pernah ngajarin gitu."
"Oke. Mari kita makan lagi," sahut Baim. Mereka pun melanjutkan makan masing-masing.
Juan yang baru saja kembali meminta sambal, melihat Altan yang peregangan di sudut halaman rumah. Juan sedikit penasaran mendekati Altan.
"Woy! Ngapain lo, Tan? Buru makan, ntar dingin."
"Ntar dulu. Badan gue masih belum panas. Pikiran gue tentang dia belum hilang," sahut Altan melompat-lompat sambil membuka lebar tangannya.
"Dia? Gebetan lo?"
"Cicak, Bego!"
"Mmmffhh ... sampai segitunya. Ya udah gue tunggu di dalam. Buru! Ntar bakso Baim habis punya lo diembet."
"Oke, gue udah selesai. Panas-panas," sahut Altan menyusul Juan yang menuju rumah.
Suara berisik seruputan mi mendominasi rumah tersebut. Baim dan Nikky yang duluan habis memakan baksonya. Meneguk air dingin secara bergantian dari botol besar.
"Jadi kita ada kegiatan khusus nggak sih sama geng kita?" tanya Nikky.
"Bener tuh. Kalo ngumpul-ngumpul aja bisa boring, " sahut Delan.
"Balapan dong," sahut Altan.
"Balapan? Gue lumayan jago sih," sahut Baim.
"Nggak. Saya nggak setuju kalau kita jadi geng motor balapan nggak jelas di jalanan," sahut Prabu.
"Lah terus ngapain? Nggak asik banget," sahut Altan.
"Lo sendiri ada ide nggak?" tanya Juan pada Prabu.
"Gimana kalau kita lakukan hal yang positif? Ya kita ciptakan sesuatu yang berbeda dari geng-geng lainnya. Kita itu geng yang keren, tapi juga positif. Seimbang kata Eyang saya," ujar Prabu yang diangguki oleh Nikky dan Delan.