Altan turun dari tangga, berjalan santai menuju meja makan. Namun langkahnya harus berhenti ketika melihat ayahnya, Elfan, Wulan, dan Ardana sarapan bersama. Elfan yang melihat Altan melambaikan tangannya.
"Tan, ayo sarapan dulu. Tante Wulan bikin—"
"Ogah! Ntar ada racunnya lagi," sahut Altan sinis sembari berbalik badan.
"Altan!" tegur Putra.
"Udah, Mas. Gapapa," ujar Wulan menenangkan.
Elfan meminum air putih sedikit, lalu beranjak dari kursinya.
"El, kamu mau ke mana?"
"Mau susul Tatan."
"Nggak usah. Kamu denger kan dia tadi ngomong nggak sopan?" ujar Putra.
"Yah, Elfan susul Tatan dulu," ucap Elfan meninggalkan ruang makan.
"Elfan keras kepala karena anak itu," ucap Putra.
"Altan nggak pernah berubah, Mas."
"Gitulah dia. Nakal sejak kecil, nggak kayak kakaknya Elfan. Makanya aku lebih sayang Elfan. Elfan anaknya nurut, punya mimpi, dan mau sukses. Lah Altan, susah dibilangin. Sekolah bolos terus dan berani melawanku. Bukan aku yang nggak adil jika begitu, tapi dia yang bertingkah buruk."
Altan berdecak melihat ban motornya depan dan belakang kempis. Apalagi waktu masuk sekolah tinggal beberapa menit lagi.
"Argh! Kenapa bisa kempes gini sih. Perasaan kemarin baik-baik aja deh," decak Altan.
Elfan mendengar suara Altan lantas berjalan menuju garasi. Mendapati Altan yang berjongkok di depan motornya. Elfan tersenyum penuh arti, teringat apa yang ia lakukan subuh tadi. Elfan sengaja mengempiskan motor Altan agar Altan mau berangkat sekolah bersamanya.
"Kenapa motor lo? Eh, bocor, ya?" tanya Elfan.
"Dah tau tanya!" ketus Altan.
"Dih, galak banget bayik monyet. Mau gue antar, nggak? Sekalian gue mau ke sekolah lo."
"Ngapain lo ke sekolah gue?"
"Ada deh. Pokoknya ada yang gue urus di sana. Cepetan tunggu di depan, gue mau keluarin mobil dulu."
Altan menghela napas sambil berdiri. Sejujurnya ia tak mau ikut bersama Elfan. Gengsinya tinggi kalau harus menerima bantuan Elfan. Tetapi mau bagaimana lagi, daripada telat dan kedapatan Pak Darwos. Hih, Altan merinding membayangkan wajahnya warna-warni kembali.
"Cepetan! Gue nggak mau telat."
"Tumben. Biasanya santai banget."
"Lo nggak tau sadisnya Pak Darwos!" Altan langsung pergi meninggalkan garasi.
"Pak Darwos? Oke, gue ingat tuh nama," gumam Elfan tersenyum sambil masuk ke dalam mobilnya.
Sepanjang perjalanan mereka saling diam. Sesekali Elfan melirik Altan di sampingnya. Dahi adiknya tampak berkerut sambil tangannya menyentuh punggungnya sendiri. Elfan jadi kepikiran soal memar di punggung Altan yang katanya dipukul oleh Wulan.
"Tan, lo serius tentang Tante Wulan?" tanya Elfan.
Altan melirik malas. "Seriuslah. Emang gue pernah becanda sama lo? Males banget, njing."
"Eh, mulutnya."
"Bodo."
"Oke. Anggap emang Tante Wulan yang pukul lo. Tapi kenapa? Pasti ada sebabnya dong?"
"Gue ngatain dia wanita ular. Terus Ardana nyerang gue dan gue balas."
"Ya ampun, Tan. Yaiyalah Ardana marah, lo mulut keterlaluan," sahut Elfan.
"Tuh, kan. Lo nyalahin gue lagi. Itu artinya lo nggak percaya sama gue. Udah gue turun aja."