Elfan kembali ke rumah sakit. Dengan lesu membuka pintu kamar rawat Altan. Tampak Altan sedang memakan buah apel seorang diri, tak ada lagi sosok Alea di sana. Altan menoleh, Elfan mendatanginya dengan membawa kantung plastik berwarna putih.
"Bubur ayam kesukaan lo."
"Gue kira nggak bakal balik lagi lo," sahut Altan sewot.
"Tadi pulang ke rumah. Ngobrol sama Istri muda Ayah dan anak tirinya," sahut Elfan pelan sambil mendudukkan diri di kursi samping Altan.
Altan melirik ke arah Elfan, sedikit terkejut mendengar ucapan Elfan barusan. Tampak raut putus asa Elfan dengan mulut tertutup rapat. Altan mulai tak enak hati. Apakah Elfan sudah mengetahui semuanya?
"Kenapa nggak bilang, Tan?" tanya Elfan dengan kepala menunduk.
"Bilang apa?"
"Soal Bunda yang diseling—"
"Gue udah bilang sama lo waktu itu. Tapi apa lo mau percaya sama gue?" sahut Altan balik bertanya.
"Gue pikir lo cuma mengada-ngada. Soalnya waktu pertama kali gue ke sini, Ayah sama Bunda baik-baik aja."
"Itu karena Ayah sayang banget sama lo. Ayah nggak mau lo marah sama dia kalau Bunda diselingkuhin. Tau kan gimana keterlaluannya Ayah sayang sama lo? Sampai dia marah kalau kami berdua buka mulut. Itu sebabnya gue muak sama Ayah. Gue nggak mau kumpul bareng dia lagi. Sudah cukup Bunda sakit hati karena Ayah selingkuhin Bunda!" cetus Altan menumpahkan rasa di hatinya.
Elfan menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mengusapnya kasar. Dia memang salah tidak mempercayai Altan sejak awal.
"Tan ... maafin gue. Gue—"
"Lo bisa keluar, nggak?"
"Tan, gue mohon lo jangan kayak gini. Gue juga marah kok sama Ayah. Kita sama-sama benci Bunda disakiti. Mau ya maafin gue?" ucap Elfan menatap Altan penuh harap. Altan memalingkan wajahnya berusaha menahan gejolak yang ada di hatinya.
"Pergi."
"Gue salah karena nggak sadar kalau Ayah cuma perhatiin gue. Gue salah karena percaya banget sama Ayah. Gue mau kita sama-sama lindungin Bunda. Gue nggak mau Bunda terluka lagi—"
"Terlambat! Bunda udah sering terluka dan lo jauh dari kami berdua. Lo lebih pentingkan impian lo dan sekolah di luar negeri! Gue sama Bunda yang tanggung penderitaan berdua," kesal Altan. Altan mencabut selang infus yang menempel di punggung tangannya. Meringis ketika darah segar merembes keluar dari sana.
"Shhh ...."
"Tan, lo kenapa lepas infusnya. Lo belum sembuh—"
"Lepasin gue! Gue mau pulang dan nggak ada yang bisa ganggu gue!" kesal Altan berjalan tertatih menghindari Elfan. Namun Elfan tetap kekuh menahan pergerakan Altan.
"Gue mohon jangan gini, Dek. Maafin gue, Tan. Maaf," ucap Elfan mencoba mendekap Altan dari belakang. Namun Altan malah mendorong Elfan hingga jatuh ke lantai.
"Tan—"
"Kalau nggak mau gue kasar, jangan ganggu gue! Gue nggak mau ngomong sama lo lagi. Gue udah putusin buat benci lo!"
"Kenapa, Tan?! Kenapa lo benci gue? Emang salah gue apa, hah?! Karena Ayah lebih sayang gue? Itu bukan gue yang mau, tapi Ayah yang nggak adil!" tegas Elfan sedikit terpancing emosi.
"Lo pikir gue benci hanya karena kasih sayang Ayah? Asal lo tau, lo adalah penyebab gue ada dalam masalah besar. Masalah yang buat gue selalu kalah saat ngomong sama Ayah. Lo! Penyebab gue operasi ginjal. Karena lo! Ingat, karena lo." Usai mengatakan itu Altan keluar dari kamar rawat meninggalkan Elfan yang masih terkejut dengan apa yang Altan tuturkan barusan.
"J-jadi Altan operasi ginjal karena gue?
***
Alea merasa bimbang, niatnya ingin menelepon Altan untuk menanyakan apakah perlu ia menuliskan surat untuk Altan agar bisa izin sekolah. Alea menatap kertas kosong di hadapannya, haruskah ia menuliskannya untuk Altan?
"Eh, nanti dia tau gue care sama dia gimana? Bisa gede hati tuh anak," monolog Alea.
"Tapi kan dia lagi sakit. Masa gue tega sih."
"Ah, bodo amat. Gue tanyain aja tuh capung langsung."
Alea mengirimkan pesan pada Altan. Ia tak peduli dengan tanggapan Altan selanjutnya. Alea hanya ingin berperikemanusiaan kali ini.
To : Capung Ijo
Lo udah baikkan? Besok gimana, bisa hadir ke sekolah, nggak? Kalau nggak bisa gue tulisin surat biar lo nggak dialfa sama guru.
From : Capung Ijo
Gue udah di rumah. Jangan terlalu khawatir sama gue. Gue baik-baik aja, Tungau Sayang. Besok gue sekolah.
Ingin rasanya Alea membanting ponselnya segera. Tahu begini ia tak mau menanyakan kabar Altan. Alea benar-benar frustrasi.
"Iiiiiih! Nyebelin banget sih tuh cowok. Tau gitu gue nggak usah tanyain tadi!"
"Eh tapi, tuh anak kok cepet banget baliknya? Bukannya sempat masuk UGD, ya?"