Altan and the gang masih berkumpul di parkiran sekolah sambil bersenda gurau. Bahkan bell berbunyi mereka acuhkan. Kecuali Prabu yang sudah beranjak sambil membenarnya baju seragamnya.
"Gue yakin Altan juga suka nonton film gituan. Ahahaha! Ngaku lo!" heboh Juan.
"Dih, sorry, ya. Gue nakal-nakal gini masih polos. Nggak mau nodain mata suci gue," sahut Altan.
"Wah, kalau gitu lo harus join nonton bareng gue dan baim. Baim yang pertama kali liat aja ketagihan. Ahaha!"
"Gila si Juan," ucap Delan terkekeh.
"Dosa woy!" celetuk Nikky.
"Eh! Udah bell tuh. Kalian mau tetap di sini?" tegur Prabu yang sudah menjauh dari mereka.
"Alah. Santai aja. Pak pertama kan olahraga, santuilah," sahut Juan.
"Bisa leha-leha setengah jam," sahut Altan.
"Ya udah. Saya duluan," sahut Prabu pergi begitu saja.
"Tungguin gue, Bu!" teriak Delan menyusul Prabu.
Nikky tak sengaja melihat Pak Darwos yang memantau mereka dari kejauhan dengan mata elangnya. Tampang garang Pak Darwos membuat Nikky kesulitan menelan salivannya.
"G-guys, kita kayanya harus cabut juga. Ini bahaya banget sumpah."
"Bahaya apa? Takut dimarahin? Alah, santui aja. Guru olahraga kita care sama tim kita, man," sahut Juan
"Bukan itu. Masalahnya ini danger lebih dari geng kita. Gue mau cabut duluan," sahut Nikky segera turun dari motornya.
"Ada apaan sih? Woy Nikky! Main kabur aja," ujar Altan keheranan.
Nikky berhenti sebentar dan menoleh ke belakang. Tangannya menunjuk ke arah Pak Darwos, lalu kembali berlari.
"Apaan sih?" tanya Baim heran.
Altan, Juan, dan Baim kompak menoleh ke belakang. Tampak kilatan mata Pak Darwos yang akan marah begitu menggores perasaan mereka.
"Pak Darwos," ucap Altan terkesima.
"Guru kehancuran abad saat ini," sambung Juan.
"KABURRR!" teriak Baim berlari lebih dulu. Altan dan Juan ikut menyusul ladi kesetanan. Pada kenyataannya se-bahaya apapun nama gang mereka, tak akan merontokkan kesangaran seorang Pak Darwos.
"Anak-anak nakal," ucap Pak Darwos seraya berlalu pergi.
Juan merangkul pundak Altan masuk ke dalam kelas. Tampak Alea, Amila, dan Anita sedang bergosib ria di meja belakang. Juan membawa Altan mendekati tiga cewek tersebut.
"Hai, ladies. Serius banget gosibnya. Bagi dong," ucap Altan.
Mereka serentak menghentikan obrolan rahasia mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas bagi Altan, Alea adalah sumber pembicaraan mereka tadi.
"Teman, lo ada masalah? Nggak cerita gitu sama gue? Gue penasaran dari tadi malam sebenarnya. Pas waktu lo ngajarin gue fisika, lo dapet pesan, terus langsung bete. Bibir lo langsung dower tujuh senti. Kenapa lo?"
"Bukan urusan lo, Pak Altan Mahendra Putra yang terhormat," sahut Alea.
"Tapi saya kepo wahai Bu Alea Andini Putri yang tergalak," sahut Altan.
"Alea diteror sama mantannya," sahut Amila.
Alea melotot pada Amila. Sedangkan Altan dan Juan melotot karena terkejut atas celetukkan Amila yang tiba-tiba.
"Mil," desis Alea.
"Alea, itu beneran? Lo beneran diteror sama mantan lo? Saha? Biar gue beri," tanya Altan menggebu.
"Apaan sih. Nggak ada kok."
"Al, lo jangan sok nggak mau minta bantuan deh. Diteror itu bukan perkara sepele. Dikit-dikit bisa jadi masalah serius. Apalagi yang teror itu cowok, lah elu cewek. Bahaya gue bilang," ujar Juan.
"Ck, dia nggak jahat kok."
"Nggak jahat gimana? Kalau orang udah berani meneror, itu artinya dia nggak baik." Altan menyahut lagi.
"Terus gue harus gimana? Ngamuk atau gimana?" sahut Alea.
"Namanya siapa? Rumahnya di mana? Latar belakang dia gimana? Motifnya teror lo apa? Bentuk terornya gimana?" tanya Altan bertubi-tubi. Bahkan Alea belum menjawab satupun pertanyaan yang Altan lontarkan.
Juan menepuk lengan Altan main-main.
"Elu nanya udah kayak Uncle Muhtu. Santuy dong, Alea bingung noh."
"Enak aja nyamain gue sama Muhtu. Hidung dia gede, gue mancung."
"Kualat lo ngatain orang tua," sahut Juan tertawa.
"Karakter fiksi doang."
"Ck, ngeremehin tokoh fiksi nih. Lo nggak tau aja gimana mengagumkannya tokoh fiksi."
"Elah malah bahas yang lain. Gimana masalah Alea? Kalian mau bantu nggak?" celetuk Amila.
Altan terlihat berpikir. Cara apa yang tepat untuk mengatasi masalah Alea. Juan pun sama, seketika suasana berubah menjadi hening.
"Untuk sementara waktu, lo bareng gue aja, Al. Lo berangkat dan pulang sekolah bareng gue. Jadi gue bisa pantau elu, kan?" ucap Altan.
"Gue nggak suka naik motor," sahut Alea.
"Ya udah gue naik mob—"
"Nggak mau bareng lo terus, Altan. Ntar bisa jadi gosib satu sekolah. Males banget."
"Terus lo mau gimana?"
"Selagi dia nggak berbuat macem-macem sama gue, ya gapapa. Gue bakal hati-hati kok. Udah ah, gue mau ganti baju olahraga," ucap Alea beranjak dari duduknya. "Guys, ke toilet bareng," ajak Alea pada Amila dan Anita.
"Eh, tungguin, Al!" sahut Amila langsung mengambil baju olahraga di dalam tas.
Anita meraih baju olahraganya yang ia bawa dengan totebag.
"Eh, kalian berdua. Gue minta sama kalian tetap awasi Alea. Alea mah gitu, nggak suka ngeribetin orang lain. Nama mantan Alea dulu itu Pidi. Aslinya baik banget sumpah. Tapi kalau sudah marah dan ingin sesuatu, mati pun dia jabanin. Makanya gue sama Mila itu khawatir banget sama Alea. Ngerti kan, lu?" ucap Anita sebelum meninggalkan kelas.
"Gila nggak sih mantan Alea?" celetuk Juan.