Mobil Elfan dan motor Altan sama-sama telah berhenti di depan rumah mereka. Altan yang tampak kesal langsung masuk begitu saja ke dalam rumah. Sementara Elfan memilih memasukkan mobilnya ke dakam garasi. Altan berjalan masuk, melempar tasnya di sofa dan merosot di sofa. Hatinya masih kesal atas kehadiran Elfan yang tiba-tiba menjadi seorang guru di kelasnya. Lusi datang menghampiri Altan entah dari mana. Sedikit bingung melihat ekspresi anak bungsunya kali ini.
"Altan kenapa? Kok datang-datang mukanya ditekuk gitu? Ada masalah apa, Sayang?"
"Tau tuh. Tanya aja sama anak sulung Bunda," sahut Altan melirik sinis pada Elfan yang baru saja menghampiri mereka.
Lusi menoleh ke belakang, Elfan tersenyum sambil menyalaminya.
"Kenapa adikmu, El?"
"Dia ngambek tau Elfan jadi guru di sekolah dia."
"Loh, kok gitu? Bagus dong kalau kakak kamu jadi guru di sekolahmu. Kamu bisa belajar sama kakakmu langsung. Bunda jadi tahu perkembangan belajar kamu dari Kak Elfan."
"Tapi Altan nggak suka. Altan juga nggak mau ada yang tahu. Lagian kan bukannya Kak Elfan kuliah bisnis kata Ayah, kok bisa jadi guru. Aneh," komentar Altan.
Elfan duduk di samping Altan sambil menepuk pundaknya sekali.
"Gue masuk pendidikan bahasa Jerman di sana. Kemauan gue itu, sedangkan bisnis kemauan Ayah. Gue nggak bisa turuti gitu aja apa kata Ayah. Gue punya jalan hidup sendiri. Cuma, gue tetap belajar bisnis sebagai tambahan di sana. Gue mau hargain usaha beliau kasih gue uang buat menimba ilmu di sana. Jadi jelas 'kan, Tuan Altan?" tutur Elfan menjelaskan.
"Tau ah. Awas aja ya lo ngaku-ngaku jadi Kakak gue nanti di sekolah. Gue males di tanya-tanya. Apalagi siswi-siswi di sana yang pada ganjeng. Males gue," cerocos Altan meninggalkan ruang tengah.
Lusi menggeleng melihat kepergian anaknya. Menatap Elfan yang mengangguk paham.
"Jangan diambil hati ya, Nak. Adik kamu emang gitu. Keras kepala dan maunya aja. Tapi kalau kamu bisa lembut, dia nanti bakal manut kok."
"Iya, Bund. Gapapa. Elfan malah suka Altan ngomel. Daripada dia diemin Elfan kayak waktu itu. Ya udah, Elfan mau ke kamar dulu ganti baju."
"Iya, Sayang. Bunda siapin makan siang buat kalian berdua."
Alea sampai di depan kafe Alastar. Alea tampak mengenakan baju atas putih panjang selutut, sepatu biru muda, dan topi berwarna putih. Alea memasuki kafe itu dengan perasaan yang gugup.
Aku tunggu di meja nomor 4.
Alea menemukan sosok Pidi di meja nomor 4. Cowok perawakan tinggi dan rambut sedikit gondrong. Cowok berkacamata seperti Alea itu tampak sibuk dengan ponselnya. Perlahan Alea melangkahkan kakinya mendekati cowok itu.
"Pidi."
Cowok itu mengangkat kepalanya, tampaklah wajahnya yang terlihat menampilkan senyuman manis. Alea sedikit tersenyum menanggapinya.
"Alea, datang juga. Ayo duduk, aku udah pesan camilan kesukaan kamu."
"Aku ke sini bukan untuk santai, Pid. Aku mau denger apa yang kamu jelasin kenapa ganggu aku tiba-tiba setelah sekian lama menghilang," ucap Alea to the point. Ia mendudukkan dirinya dengan tatapan lurus pada Pidi yang tampak menikmati kopi pesanannya.
"Aku mau balikkan sama kamu."
Alea tertawa sinis, menatap Pidi dengan tatapan ingin memusnahkan cowok di hadapannya sekarang. Sungguh, cowok di depannya berucap hal tersebut tanpa rasa malu.
"Apa kamu bilang? Balikkan? Aku nggak salah denger, Pid?"
"Nggak. Kamu nggak salah dengar. Aku serius mau ngajak kamu balikkan. Al, kita pacaran lagi, yuk!" ucap Pidi santai dengan tampang seolah-olah tak mempunyai beban hidup sama sekali. Lain lagi dengan Alea yang merasa emosi dalam dadanya sudah sangat menyesakkan.
"Gila kamu, Pidi. Kamu gila."
"Karena kamu. Aku gila karena kamu."
"Udah ya, aku nggak mau ngomong sama orang yang nggak waras," ucap Alea ingin beranjak dari sana.
Namun Pidi langsung menahan tangannya. Memaksa Alea untuk tetap duduk di kursinya. Benar-benar tak tahu malu.