Alea dan Elfan berjalan di jalanan komplek dengan mulut terkantup rapat. Mereka saling diam, tak ada yang memulai obralan sama sekali. Sebelumnya mereka memutuskan naik taksi, tetapi memilih singgah di depan komplek untuk menikmati moment jalan bersama. Alea melirik Elfan, sedari tadi ia menunggu cowok di sampingnya untuk bicara. Namun sepertinya Elfan tak akan bicara lebih dulu.
"Kak, t-tadi kok Kak Elfan ada di sana?" tanya Alea.
"Hhm? O-oh ... tadi habis pulang jalan-jalan sama teman. Eh, malah mobil mogok. Bawa ke bengkel dekat kafe itu. Kebetulan laper dan mau makan. Tapi malah liat kamu sama cowok lagi berantem gitu. Ya udah, samperin," sahut Elfan menjelaskan.
Alea mengangguk paham. "Oh ... tapi kalau boleh tau, kenapa Kak Elfan kayak kesel banget tadi sama Pidi? Kayaknya juga Kak Elfan kenal sama Pidi."
Elfan sempat memberikan jeda beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan Alea. Sejujurnya ia tak ingin membahasnya.
"Pidi itu ... orang yang nggak bener. Baik bagai malaikat, tapi punya sisi iblis di dalam dirinya."
"K-kok gitu?"
"Yang jelas jangan dekat lagi sama dia," sahut Elfan menghentikan langkahnya menghadap Alea. Ia tersenyum menanggapi tatapan heran Alea.
"Saya masuk dulu, ya. Kamu masuk dan kunci semua pintu. Sendiri 'kan di rumah?"
"Iya. Makasih, Kak Elfan," sahut Alea tersenyum.
"Sama-sama."
Alea menatap punggung Elfan yang berjalan gontai menuju rumahnya. Ada pertanyaan besar yang tak mampu Elfan jelaskan tadi. Siapa Pidi di kehidupan Elfan? Kenapa Elfan tidak ingin membahasnya? Tanpa ada yang menyadari, di balkon sana ada Altan yang memandangi mereka.
"Kok mereka berdua bisa bareng sih?"
Elfan membuka kamar Altan. Altan yang baru masuk ke dalam kamar dari balkon, sedikit terkejut melihat kehadiran kakaknya.
"Ngapain lo?" tanya Altan seraya naik ke kasurnya dan duduk menyandar di sandaran kasur. Sedangkan Elfan duduk di kursi belajar Altan.
"Tadi gue nggak sengaja ketemu sama Alea."
Altan perlahan melirik. "Terus?"
"Dia kayak lagi berantem gitu sama cowok. Gue samperin dan coba bela dia. Ternyata tuh cowok nggak lain adalah Pidi. Lo tau dia, kan?"
Altan melebarkan sedikit matanya.
"Pidi?"
"Katanya dia mantan Alea yang kembali ganggu dia, kan?" tanya Altan.
"Ya. Tapi dia juga musuh lo pas kelas 1 SMP. Ingat, nggak?"
Altan bagai mendapat ingatannya kembali dan menunjuk Elfan dengan tatapan kagetnya.
"Pidi yang itu? Yang pernah lo hajar itu, kan?" terka Altan sangat yakin.
"Ya. Lo tau dia, kan? Dia itu punya semacam gangguan psikis tau nggak. Bisa-bisanya Alea pacaran sama dia. Parahnya tuh cowok maksa ajak balikkan. Ini bahaya buat Alea, Tan. Lo harus bantu dengan jauhin Alea dari Pidi," ucap Elfan serius.
Altan menghela napas kasar. Apa lagi ini? Menghadapi Renaldy saja ia sering merasa kalah, apalagi Pidi. Alea pernah mencintai sosok Pidi, akan cukup sulit untuk menjauhkan mereka.
"Masalahnya gimana Alea masih ada rasa sama Pidi? Gimana kalau Pidi rayu dia dan dia kembali? Usaha gue bakal sia-sia," desah Altan setelahnya.
"Makanya lo aja yang deketin Alea. Alihin perhatian Alea pada Pidi. Kalau bisa sih ... buat dia suka sama lo. Dengan begitu nggak perlu khawatir dia bakal balik sama Pidi."
"Apa? Gue deketin tuh Induk Tungau? Nggak salah? Dia aja ngomel terus tiap lihat muka gue," protes Altan.
"Itu karena lo sering ganggu dia. Nyebelin. Makanya bersikap layaknya cowok yang dia idamkan. Manis dikit kenapa. Kakaknya manis, masa adeknya sepet."
"Apaan ngatain gue sepet. Elu kali kecut. Udah ah sana keluar! Gue mau istirahat!" usir Altan.
Elfan bangkit dari duduknya sambil tertawa ringan. Sebelum menutup pintu, Elfan kembali berbicara pada Altan.
"Gue tau Alea itu spesial buat lo, jadi jangan sampai dia kenapa-kenapa," ucap Elfan dan setelahnya menutup pintu.