Juan menghentikan motornya di depan sebuah rumah bernuansa ungu muda. Tampaknya Juan sudah begitu akrab atau bahkan sering ke sana, hingga satpam yang berjaga membukakan pagar rumah begitu saja. Juan turun dari motornya sambil melepaskan sebuah plastik berisi makanan yang tergantung di motornya. Juan melanjutkan langkahnya menuju pintu rumah itu.
"Assalamu'aiakum ... Anit~ Aa Juan datang!"
Tak lama pintu berbuka, menampilkan sosok Anita yang sedang memakai masker wajah.
"Walaikumussalam. Ck, ngapain lo?"
"Diih, marah-marah sambut tamu datang. Ajak masuk dong!"
"Ya udah iya silakan masuk Tuan Juanda!" sahut Anita berbalik masuk ke dalam rumah lebih dulu.
Juan mengikuti langkah Anita sampai di ruang tengah. Lalu mereka sama-sama duduk di sofa. Juan membuka plastik yang ia bawa.
"Coba liat, gue bawain apa buat lo."
"Nasi uduk?"
"Sembarangan lo. Sejak kapan gue pernah beliin lo nasi uduk. Kan lo ada maag, nggak baik. Ini tuh martabak telor spesial," sahut Juan.
"Beneran?" tanya Anita mulai bersemangat.
"Masa gue tipu. Gue beli di persimpangan jalan dekat rumah Om gue. Katanya enak banget, gue jadi ingat elo dan beliin deh. Coba deh."
Anita sedikit membentuk senyuman sebelum meraih martabak telur itu. Anita membulatkan matanya sambil mengangguk.
"Enak. Enak banget ini. Wah, pasti Mamang yang jual ganteng."
"Ck, beda jauh sama gue. Lebih ganteng gue 1000 hektar."
"Ngoco! Eh, lo ambilin minum gih. Sirup Orange yang baru gue beli. Ada di kulkas."
"Ini tamu yang mana tuan rumah yang mana?" komentar Juan.
"Udah deh turutin aja! Atau mau gue usir nih!"
"Ngeri banget sumpah. Jera gue bertamu," gerutu Juan beranjak dari sana menuju dapur.
Anita menoleh ke arah dapur, tampak Juan sedang sibuk membuat minuman. Anita diam-diam memotret martabak yang Juan bawa untuk ia posting di akun instagram rahasia yang tak ada yang mengetahuinya. Anita juga membubuhkan caption di postingan tersebut.
Martabak spesial dari orang spesial.
Anita tersenyum, meraih satu potong martabak lagi dan memakannya. Tak lama Juan datang membawa dua minuman.
"Ini Tuan Putri minumannya. Khusus dari Aa Juan yang tersayang."
"Tersayang palalu! Eh, tumben banget lo nggak ngumpul sama teman-teman lo. Kenapa?"
"Kangen sama lo."
"Bullshit. Kalian nggak ngumpul?"
"Tadi sempat ngumpul bentar. Cuma yang lain pada sibuk cari catering-an. Sama bungkusin duit diamplop. Karena tadi mendadak gue ditelepon nyokap supaya ke rumah Om gue, jadi gue nggak ikut bantu mereka."
"Emang kalian mau ngapain? Ada acara apa?"
"Jadi gini, geng kami punya project positif. Salah satunya berbagi ke panti asuhan gitu. Gue sama anak-anak yang lain patungan buat sedekah. Ya ... semua ini ide si Prabu sih. Dia nggak pengin geng kami jadi geng yang buruk dan mendapat pandangan negatif dari orang-orang."
"Wah, keren dong. Gue kira geng yang diketuai oleh Altan itu bakal jadi badung di sekolah. Kalau tau gitu mah, gue dukung banget. Boleh juga kalau kami bantuin kalian," ujar Anita.
"Seriusan, Nit? Lo nggak marah lagi sama gue?" tanya Juan tak percaya. Rasanya bagai mendapat restu dari orangtuanya.
"Biasa aja kali mukanya. Ya kalau bagus gue dukung. Gue nggak mau aja sahabat gue jadi begajulan tadinya. Ternyata geng kalian boleh juga."
"Ya udah kalian langsung gabung aja esok minggu buat ke panti. Lo kabarin deh antek-antek lo yang berdua tuh. Ntar gue kirim alamat base camp kami."
"Kalian punya base camp juga?"
"Yoi. Kontrakan punya Niky. Berasa kayak kosan deh. Hehe."
Tiba-tiba terdengar suara wanita yang berbicara dari arah pintu. Anita dan Juan sama-sama menoleh. Tampak wanita paruh baya berpakaian modis. Beliau adalah Safira—ibunya Anita.
"Mami."
"Eh, Tante Fira. Juan bantuin, Tante. Tenang di situ," seru Juan langsung bangkit ketika melihat Safira membawa banyak barang belanjaan.
Juan meraup semua kantung plastik yang Safira bawa. Wanita itu tersenyum hangat pada Juan.
"Ternyata bener ada kamu. Motornya masukin garasi aja. Takut hujan."
"Gapapa, Tante. Hercules belum mandi, jadi gapapa kena hujan. Hehe. Ini bawa ke dapur kan, yak?"
"Iya. Ayo sama Tante ke dapur."
Juan membawa barang belanjaan itu ke dapur. Menaruh semuanya di pantry. Juan memang sudah akrab dengan ibunya Anita, sebab ia dulu sering bermain di rumah itu untuk sekadar mengisi waktu luangnya.
"Eh, Tante tadi beli dawet. Kamu mau?"
"Wah, dawet emang the best, Tante. Boleh-boleh. Juan duduk di kursi, ya."
"Iya."
Safira meletakkan secangkit dawet ke hadapan Juan.
"Nih, cobain. Enak, Wan."