"Berangkat sekolah bareng gue, pulang sekolah bareng gue, ke manapun lo pergi harus izin sama gue dan bareng gue juga."
Ucapan Altan barusan membuat Alea mengangga tak percaya sembari bangkit dari bangku depan rumah yang ia duduki.
"Apa tadi, Altan? Semuanya harus bareng lo? Lo nggak ketularan gila si Pidi, kan?"
"Emang Pidi biang keroknya! Tuh cowok gila dan nggak aman buat lo. Jadi lo harus selalu bareng gue supaya ada yang bisa jagain elo," sahut Altan tegas.
"Tapi nggak dengan cara kayak gitu juga. Gue jadi terkekang kalau gitu."
"Gue cuma ngikutin lo. Nggak ganggu masalah pribadi atau urusan lo, Al."
"Terserah lo, Tan. Tapi yang jelas gue bakal jalani hidup gue sesuai apa yang gue mau. Gue nggak mau terlalu ada dalam kendali lo," ucap Alea sebelum beranjak dari sana menuju dalam rumahnya.
Altan menatap pintu rumah Alea yang tertutup. Altan berdecak karena Alea sulit diatur. Bukan apa, ia hanya khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Alea.
Sementara itu, Alea memasuki kamarnya. Duduk di pinggiran kasur dengan pikiran terlempar pada ingatan di mana Amelia meminta dirinya menjadi kekasih kakaknya. Alea tak tahu harus bagaimana. Ia tak ada perasaan sama sekali pada Renaldy. Bagaimana ia bisa menjalin hubungan tanpa dilandaskan perasaan apapun? Alea berjalan ke arah balkon, melihat Altan yang sedang bermain basket di luar rumah.
"Maafin gue, Tan. Bukannya gue menolak perhatian dari lo, tapi gue takut malah terbawa perasaan. Sebab sekarang gue ada di posisi yang sulit. Gue harus menyakinkan diri atau lebih tepatnya memaksakan diri untuk menjadi kekasih Renaldy."
***
Amila berjalan seorang diri di koridor sekolah. Ia sengaja berangkat sekolah pagi-pagi sekali karena dapat giliran piket di kelas. Rupanya ada satu anak Adam yang mengetahui hal tersebut. Prabu, cowok itu sebelumnya pernah membaca daftar piket di kelas Amila untuk mengetahui jadwal piket cewek tersebut.
"Amila!"
Amila menoleh, ada Prabu yang menghampirinya dari arah belakang. Dengan senyuman mengembang Prabu berdiri di sampingnya.
"Baru datang, ya?"
"Yaiyalah. Kan lo liat sendiri gue baru datang. Kenapa ditanya?" Amila menatap Prabu heran.
"Oh, hehe. K-kalau gitu bareng aja ke kelas."
"Ya udah," sahut Amila seadanya. Ia melanjutkan langkahnya dan diimbangi oleh Prabu.
Prabu sesekali melirik Amila di sampingnya. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi terasa sulit dan takut. Takut kalau Amila marah padanya.
"Amila."
"Hmm?"
"Saya mau ngomong."
"Ngomong aja kali."
"Saya itu suka sama kamu. Gimana?"
"HAH?!" Amila menghentikan langkahnya dengan tatapan melotot pada Prabu. Bukan apa, ia tentu tak percaya. Tak percaya Prabu menyukainya dan tak percaya ada orang yang menyatakan cinta dengan mudah.
"Ke-kenapa, Mil?"
"Apa tadi lo bilang? Gue nggak salah denger?" tanya Amila lagi.
"Enggak kok, Mil. Saya memang suka sama kamu. Jadi gimana? Saya sih maunya jadi pacar kamu. Tapi saya nggak maksa kok. Beneran, saya nggak paksa kamu," ucap Prabu gugup. Ia menjelaskan sebiasa mungkin agar Amila mengerti.
"Astaga, Prabu. Lo beneran ungkapin cinta ke gue?" tanya Amila merasa konyol.
"Iya."
"Dengan cara kayak tadi? Semudah itu tanpa ada beban sedikitpun?"