Di kamar Altan, ada Dangers Gang yang menunggui Altan bangun. Altan pingsan saat di perjalanan menuju rumahnya. Mereka semua masih terdiam, belum ada yang berniat untuk membahas apa yang terjadi hari ini. Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan sosok Elfan yang membawa kotak obat di tangannya. Delan yang tadinya duduk di sisi kasur, menjauh untuk memberikan Elfan ruang. Elfan duduk di samping Altan dan mulai melakukan pengobatan pada wajah penuh lebam itu.
"Ada yang udah hubungi Renaldy, nggak? Tadi saya lihat adik dia kambuh penyakitnya karena kerusuhan itu," tanya Elfan dengan tangan yang masih telaten mengobati luka Altan.
"Kami nggak punya kontaknya, Pak—"
"Panggil Kak Elfan aja kalau di luar sekolah."
"Iya, Kak. Cuma tadi saya coba telepon Anita yang kebetulan nyusul sama Amila ke rumah sakit. Katanya adiknya Renaldy kritis. Nggak tau deh gimana ceritanya nih," ujar Juan menjelaskan.
Elfan menghela napas lelah. Ia merasa sangat bersalah dan juga kasihan pada Altan. Maksud Altan itu baik ingin membela Alea, tetapi hasilnya malah menghancurkan pesta meriah itu.
"Kalian bisa temeni Altan dulu 'kan? Saya harus kembali ke hotel buat bantu Om Yoga dan Tante Ela atas kerusuhan yang dilakukan Altan dan Pidi. Bagaimanapun juga kami tetanggaan, nggak enak nanti. Apalagi Bunda sama mereka tetanggaan. Saya tinggal, ya?"
"Iya, Kak. Gapapa. Kak Elfan temui aja dulu mereka. Kami bakal tetap di sini," sahut Nikky.
"Oke. Oh iya, kalian kalau mau makan ambil aja makanan di dapur. Ada kok. Kalau ada yang mau pulang juga, silakan. Cuma satu orang tetap di sini sementara saya tinggal. Bunda lagi nginap di rumah Tante saya. Bisa nggak kira-kira?" tanya Elfan.
Juan langsung mengangkat tangannya.
"Saya aja Kak yang jaga Altan. Ya nginap juga boleh. Saya juga sendirian di rumah."
"Bagus deh. Thanks ya, Juan. Makasih juga buat kalian. Saya permisi dulu," ucap Elfan beranjak dari kasur.
"Hati-hati, Kak," ucap Praba.
"Oke."
Juan kembali mengalihkan pandangannya ke arah Altan. Tampak Altan mengernyit keningnya.
"Eh-eh, Altan sadar. Altan sadar," ucap Juan antusias.
"Gimana kabar lo, Tan?" tanya Baim.
"Ntar dulu tanya-tanya, Nyet. Orang baru sadar," celetuk Nikky.
"Kali aja langsung sadar."
"Udah diem. Liat tuh Altan lagi menyesuaikan diri," tegur Prabu ikut mendekat.
Altan memijit pelipisnya yang terasa sakit. Kepalanya pening dan badannya pegal semua. Altan menatap satu persatu teman-temannya.
"Gu-gue di mana?"
"Di kamar elu. Kak Efan sama kita-kita bawa lo ke sini. Lo gimana? Masih banyak yang sakit?" Juan yang menjawab.
"Muka gue perih dan pegel-pegel gitu. Badan gue juga berasa ... kek mati rasa gitu," sahut Altan parau.
"Yaiyalah. Muka lo udah kayak samsak di tampol sama Pidi. Mana gelud di air pula. Bengek nggak lu?"
Altan baru ingat dengan Alea. Altan baru ingat ia dan Pidi telah membuat kerusakan di pesta ulangtahun Alea. Maka dengan cepat Altan bangkit dari posisinya.
"E-eh. Mau ke mana lo? Perlu apapun bilang sama kita," tahan Juan.
"Gue mau ketemu Alea. Dia pasti marah banget karena pestanya hancur gara-gara gue."
"Nggak. Lo nggak boleh ke mana-mana dulu. Tadi Kak Efan pesan buat jaga lo. Lagian Kak Elfan juga ke sana mau urus kerusakan sama minta maaf. Udah, lo tenang aja," jelas Juan.
"Nggak. Alea bakal kecewa dan marah sama gue. Gue harus minta maaf secara langsung," kekuh Altan ingin turun dari kasur. Namun Juan mengajak teman-temannya untuk menahan Altan bersama.
"Guys, ayo tahan bersama!"
"Oke, tahan!" seru Baim.
"Hiaaaaa!" teriak mereka menahan Altan.
Prabu memegangi bahu Altan, Juan menahan lengan kanan, Baim menahan lengan kiri, Delan bersama Nikky menahan kedua kaki Altan. Berakhirlah Altan menjerit kesakitan.
"SAKIIIIIT BEGO!"
***
Renaldy dan Alea sekarang ada di ruang rawat Amelia. Usai melalui masa kritis, Amelia dinyatakan cukup membaik. Amelia pun dapat di pindahkan ke ruang rawat tersebut. Namun, Amelia tak kunjung sadar sejak beberapa jam yang lalu. Renaldy masih setia menggenggam tangan kurus adiknya. Matanya menatap nanar sosok yang terbaring lemah itu. Alea yang duduk di sofa, tak tega melihat Renaldy.
"Dek, kapan kamu bangun?"
"Tolong bangun sekarang. Kamu buat Kak Enal nggak bisa tidur."
Renaldy beralih menatap Alea yang juga menatapnya.
"Al, kamu sebaiknya pulang aja. Telepon sopir kamu biar bisa jemput. Ini udah tengah malam banget. Kamu pasti capek dan ngantuk juga."
"Nggak. Aku bakal tetap di sini sampai Amel bangun, Kak. Aku merasa bersalah banget," sahut Alea.
"Kan yang bikin Amelia kek gini bukan kamu. Kamu pulang, ya. Besok nanti boleh ke sini lagi. Sekalian aku titip surat izin nggak masuk sekolah."
Alea menurut, lantas meraih tasnya dan bangkit dari sana.
"Ya udah aku pulang. Tapi kalau Amel bangun, kabari aku, ya? Nanti pulang sekolah aku bakal ke sini lagi jenguk dia. Pulang dulu, Kak."
"Iya. Hati-hati."
Sementara itu, Altan terbangun dari tidurnya. Ia melirik ke arah sisi kanannya. Ada Juan yang tengah tidur tengkurap. Hanya ada Juan, mungkin yang lain sudah pada pulang. Altan perlahan meringsut dari kasur. Berjalan tertatih meraih jaket lemari dan kunci motor yang bergantung di dinding kamar. Altan dengan sangat pelan keluar dari kamarnya.
Niatan Altan ingin menyusul Alea yang mungkin di rumah sakit. Namun ketika ia keluar rumah, Altan melihat Alea baru saja keluar dari sebuah taksi. Altan segera menghampiri Alea.
"Alea," panggil Altan.
Alea menoleh pada Altan. Raut wajahnya merengut, tampak tak suka dengan kehadiran Altan. Alea tak menjawab, memilih berbalik ingin menuju rumahnya. Lantas Altan langsung berusaha meraih tangan Alea dan membuat gadis itu menghadapnya.
"Al, gue mau ngomong."
"Ngomong apaan lagi? Mau ngucapin selamat ulangtahun? Basi. Pesta gue udah hancur berantakan," ketus Alea.