Alea mengetuk pintu ruang rawat Amelia. Ia mengunjungi rumah sakit bersama Anita dan Amila. Tak lama pintu dibuka oleh Renaldy. Wajah cowok itu terlihat lelah dan kurang tidur. Namun Renaldy mencoba tersenyum pada mereka dan mempersilakan masuk. Alea menoleh ke arah Amelia yang masih memejamkan matanya. Masker oksigen pun masih terpasang apik. Alea perlahan mendekati ranjang pesakitan itu. Duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Renaldy.
"Maaf ya Kak kemarin kami nggak jadi datang. Soalnya aku tiba-tiba nggak enak badan aja," ucap Alea.
"Gapapa. Santai aja."
"Keadaannya gimana, Kak?" tanya Amila pada Renaldy.
"Gitu deh. Semenjak pulih dari masa kritisnya tadi pagi, dia belum juga sadar. Mungkin sebentar lagi. Tunggu aja kata dokter," sahut Renaldy.
"Oh. Syukur deh."
"Lo kayaknya capek banget deh, Kak. Kurang tidur 'kan pasti? Udah lo istirahat aja. Kami yang bakal jagain Amel," ujar Anita.
"Eh, tapi ... Kak Enal udah makan belum?" tanya Alea.
"Belum sih. Nggak ada selera sama sekali. Mau tinggalin Amel ke kantin juga, nggak ada yang jaga. Kalau suster sih, takutnya Amel malah takut nggak ada siapa-siapa kalau dia bangun pas gue nggak ada," sahut Renaldy.
"Ya kalau gitu kita ke kantin aja beli makanan. Kebetulan kami juga tadi rencananya mau makan di sini. Biar Anita sama Amila yang jaga Amel. Dia juga kenal 'kan sama mereka berdua," kata Alea menawarkan.
"Bener tuh, Kak. Jangan sampai sakit, ntar siapa yang jagain Amel. Pasti dia butuh Kak Renald banget," imbuh Amila.
Renaldy akhirnya mengangguk setuju.
"Ya udah kita ke kantin, Al. Kalian berdua kalau ada apa-apa, tinggal hubungin gue, ya."
"Siap!"
"Ayo Alea!"
"Oke."
Alea dan Renaldy keluar dari ruangan tersebut. Mereka berjalan santai menuju kantin rumah sakit. Entahlah, keadaan membuat mereka cukup canggung saat ini.
"Al, maafin aku ya. Gara-gara Amel kambuh, pesta kamu makin tambah menegangkan. Hancur 'kan?"
"Apaan sih, Kak Enal. Enggak kok. Justru aku yang minta maaf. Ini masalah aku. Pidi itu mantan pacar aku yang mau ngajak aku balikan. Terus ... aku nggak sengaja ngakuin kalau Altan pacar aku sebagai tameng. Beneran di luar ekspektasi banget, Pidi malah punya rencana jahat buat Altan. Karena itu, kejadian di pesta itu terjadi gitu aja. Sebab Pidi udah susun rencana," tutur Alea menjelaskan.
"Tapi Al ... kalau aku kemarin yang ngaku jadi pacar kamu, mungkin sasaran Pidi adalah aku. Kemungkinan juga keadaan Amel yang liat bakal tambah buruk."
"Iya. Aku juga sekarang nyesel marah cuma sama Altan aja. Aku juga udah minta maaf. Semoga aja dimaafin," sahut Alea.
***
Altan keluar dari rumahnya. Dengan pakaian kasual ia berjalan menyusuri jalanan komplek entah ingin ke mana. Di saat yang bersamaan Alea baru pulang dari rumah sakit, melihat sosok Altan yang berjalan cukup jauh dari rumahnya. Alea pun memutuskan untuk mengikuti ke mana cowok itu pergi. Pikirnya mungkin ini saat yang tepat untuk mengutarakan maaf pada cowok itu. Langkah Altan berhenti di taman komplek, tepatnya di bangku panjang taman. Altan duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Alea sebenarnya sangat ragu dan malu harus menyapa cowok itu duluan, tetapi mau bagaimana lagi. Ia yang harus minta maaf terlebih dahulu.
Alea berdiri tepat di belakang Altan. Ia bingung harus menyapa cowok itu bagaimana. Hingga terdengar suara pesan masuk dari ponsel Alea, membuat Altan menoleh ke belakang.
"Alea," ucap Altan sedikit terkejut.
"Eumm—gue kebetulan lewat. Eh, ini lo chat gue nyuruh ketemuan di sini? Pas banget yah. Hehe," ucap Alea menunjukkan ponselnya.
"Iya. Gue tadinya mau ngomong sama lo. Tapi kok lo ada di belakang gue? Yakin cuma lewat tadi?" goda Altan.
"Yakinlah. Gue kalau jalan emang suka nyari pijakan yang bagus. Emang lo mau ngomong apa? Mumpung gue ada di sini." Alea memutuskan untuk duduk di samping Altan.