Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #1

Kobaran Api di Kebun Karet

Bengkulu, 2010


Terik matahari yang terasa membakar kulit, tak membuat gadis kecil itu berhenti berlari di kebun karet. Dua kunciran rambutnya ikut bergoyang saat tubuhnya menari-nari dengan riang.


"Awas, Nak. Jangan mendekat. Gaun indahmu bisa terkena getah karet," cegah salah satu pekerja yang sedang melukai pohon karet. Gadis kecil itu mengangguk lalu menghampiri lelaki yang tengah mengobrol dengan seseorang bertubuh tambun yang ditangannya banyak bulu halus.


"Ayah, hari ini jadi, kan, kita membuat boneka kayu?" Tangan Arumi menarik pakaian Danur. Ia tidak sabar menunggu lama.


"Sebentar lagi sayang. Ayah masih ada urusan," bisik Danur lembut.


"Tunggu, ya." Gadis itu mengangguk, lalu berlari menghilang dari pandangannya.


Penjualan karet tahun ini naik drastis. Danur berhasil menjual karet ke negara India, Vietnam, Tiongkok, Singapura, Bangladesh. Kegigihannya menjaga kualitas karet yang diproduksi membuat semua target yang dibuat berhasil dicapai. Banyak pengusaha lokal tertarik bermitra dengannya.


Jika ditemukan produk cacat yang dikirim, Danur siap menggantinya dengan produk kualitas baik. Hubungan dengan para mitra sangat solid.


Danur memposisikan mitra bukan hanya rekanan kerja yang selesai saat penandatanganan kontrak kerjasama. Lelaki itu menjalin hubungan dekat dengan mereka. Ia juga aktif mengikuti berbagai komunitas usaha dan pelatihan bisnis.


Tak ada yang menyangka, anak seorang petani karet yang miskin, bisa sukses menjadi juragan karet. Lahannya bertambah banyak, seiring dengan besarnya pemasukan yang didapatkannya.


Semua orang berhak meraih mimpi. Bahkan bagi Danur yang terlahir dari keluarga miskin. Diperolok, direndahkan sudah jadi makanan hariannya. Perutnya terbiasa menahan lapar. Air matanya mengering, berganti dengan dorongan kuat untuk maju.


Waktunya dihabiskan untuk bekerja keras dan pulang dalam keadaan letih. Tak mau menyerah dengan kondisi. Terus berusaha hingga impiannya tercapai.


Setelah urusannya dengan rekan kerja selesai. Dihampirinya gadis kecil yang terduduk lemas di mejanya.


"Sudah siapkah anak ayah mencari pergi?" Bola mata Arumi yang tadinya malas, berubah ceria.


"Sekarang, Yah? Ayo, kita pergi!" Arumi mengandeng tangan Danur dan melangkah ke tempat yang biasa Arumi datangi saat membuat boneka kayu. Di sana ada rumah kecil yang dibangun Danur untuk menyimpan rahasia bersama putrinya.


"Ayah, gendong?" Pintanya dengan wajah memelas. Tak biasanya Arumi bersikap seperti ini.


"Manja sekali anak ayah." Tubuh kecilnya dibopong menuju tempat rahasia. Tak ada akses untuk orang lain bisa masuk ke sana.


Rencananya lahan yang dibeli Danur akan ditanami pohon karet untuk perluasan usaha karena masih dipersiapkan lahan itu dibiarkan kosong.


Gadis cantik nan imut itu, terus mendendangkan lagu. Jemari kecilnya mengusap lembut wajah ayahnya. Sementara Danur menghujani ciuman di pipinya.


"Geli, ayah. Lepaskan akuuu!" Tak henti bibir mungilnya menyunggingkan senyum. Namun, sesuatu terjadi. Gelak tawa Arumi terhenti seketika. Sekelompok orang tidak dikenal berpakaian serba hitam datang tiba-tiba menyergap ayahnya.


Lihat selengkapnya