~Kehilangan paling menyakitkan adalah saat dia yang dicintai pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata~
Gayatri tertunduk lesu. Mukanya bermuram durja menyaksikan jasad suaminya terpanggang api. Bukan perpisahan seperti ini yang dia inginkan. Tubuh lelaki yang dicintainya tidak bisa dipeluk untuk terakhir kali.
Paras rupawan dengan hidung mancung dan tubuh kekar hancur lebur tak bisa dikenali. Menjadi serpihan abu, menyatu dengan alam.
Direngkuhnya tubuh Arumi, anak semata wayangnya. Mata gadis kecil itu sembab. Isak tangisnya belum reda, masih meratapi kepergian ayahnya. Seharusnya hari ini adalah momen paling bahagia baginya.
Sudah jauh hari, Danur menyiapkan kejutan ulang tahun untuknya. Namun, semuanya berbalik. Berganti duka yang akan terus diingat gadis itu hingga kelak ketika dia dewasa.
"Ayah ... jangan tinggalkan Arumi!" Tangan kecilnya menggaruk-garuk tanah di sekitar tempat Danur terbakar.
Bibir Gayatri terkatup rapat melihat putrinya terus merintih, memanggil-manggil nama Danur. Bocah berusia tujuh tahun itu harus mengalami kejadian menyedihkan. Kebahagiaan indahnya terenggut begitu saja. Hanya bersisa kenangannya saja.
Bagi Arumi, Danur adalah segalanya. Sosok ayah yang luar biasa, teman berbagi cerita dan panutan. Setiap sore, dia selalu menunggu kedatangan ayahnya di teras rumah. Tak mau beranjak masuk, sebelum pahlawannya datang.
Pernah ayahnya terlambat pulang karena harus lembur mengerjakan sesuatu di kebun karet. Arumi menunggu lama di luar sampai ketiduran. Badannya bentol-bentol digigit nyamuk.
Gayatri sampai harus mengoleskan minyak hampir separuh isi dalam botol plastik untuk mengentikan rasa gatal di tubuh gadis kecilnya. Anehnya keesokan harinya, Arumi kembali menunggu ayahnya dengan setia.
"Cepat masuk, Arumi! Sebentar lagi magrib."
"Nunggu ayah pulang, Bu!" jawabnya santai.
Semua momen indahnya hilang. Kini sosok yang ditunggu tidak akan pernah datang lagi.
Sehari sebelum terjadi peristiwa naas, Gayatri tidak punya firasat apa-apa. Semuanya berjalan normal. Danur dikenal baik dan ringan tangan kepada orang lain. Perempuan itu tidak pernah terbesit sedikitpun jika suaminya akan meregang nyawa dengan tragis.
Gayatri tak pernah menyangka, ada yang tega menghabisi suaminya sekeji ini. Dibakar hidup-hidup di lahan karetnya sendiri dengan kobaran api yang menyala-nyala dihadapannya dan putri kecilnya.
Sampai hari ini Gayatri masih belum bisa menerima kenyataan, suaminya telah tiada. Tak pernah sekalipun Danur membalas perlakuan buruk orang lain. Meskipun dihujat, dihina dan direndahkan. Bahkan pernah diludahi mukanya. Danur tidak marah, memilih pergi. Selama bukan anak dan istrinya yang dihina dan diusik. Setiap kali Gayatri ingin membalas mereka yang berbuat jahat. Danur selalu mencegahnya.
"Sudahlah, Bu! Tak usah kau risaukan mereka. Yang penting kita bersama."