Ombak yang tenang seketika beriak. Kedatangan tamu asing pagi ini membuat drama baru di hati Gayatri. Dia tak pernah lupa bagaimana kisah sedihnya bermula. Kehilangan sosok yang dicintai, tak mudah begitu saja tercerabut dari ingatannya.
"Apa kabarmu, Gayatri?" Senyum terkembang di bibir lelaki bertubuh tinggi tegap. Sepatu hitam mengkilatnya tidak dilepas saat masuk ke rumah. Berjalan melenggang mengedarkan pandangan di setiap sudut bangunan. Tangan kanannya melingkar seutas waktu dengan merk ternama Paul Newman’s Rolex Daytona.
"Panas sekali di sini. Tubuhku rasanya terbakar." Dilonggarkan dasi yang dikenakan. Lalu duduk dengan santainya bersandar di kursi kayu jati. Memandangi perempuan muda yang wajahnya tengah murung.
Tak ada perabotan mewah di rumah Gayatri. Ruang tamunya yang luas terlihat lenggang. Hanya ada kursi, meja dan cermin besar yang berdebu. Di dinding atas, ada foto Danur. Wajah lelaki itu seketika menegang. Tangannya mengepal. Perasaan tidak suka tergambar jelas di wajahnya.
"Pergi kamuuu!" Gayatri meninggikan suaranya. Matanya nyalang menatap ke arah lelaki itu.
"Apa seperti ini caramu menyambut tamu agung?" Tangan Gayatri meremas pinggiran bawah bajunya. Berusaha menahan buncahan lahar yang menggeliat di dada. Sementara laki-laki itu terlihat tersenyum renyah menatapnya.
"Tunggu pembalasanku, akan kucongkel kelopak matamu, kubakar tubuhmu. Sama persis yang kau lakukan pada mas Danur."
"Membakar tubuhku? Lakukan jika kau bisa," tukas lelaki berpenampilan parlente dengan tawa berderai-derai.
"Kamu tak pantas menginjak rumahku. Pergi dari siniiii!"
"Ibuuu." Arumi terisak melihat Gayatri berteriak-teriak. Amarah ibunya meledak sejak kehadiran lelaki asing. Dua pengawal yang berjaga di depan rumahnya langsung masuk membawa Arumi pergi, setelah diperintah laki-laki yang berparas rupawan.
"Lihat dirimu, Gayatri. Ke mana wajah ayumu? Hah?" Lelaki itu berdiri dan mendongakkan kepala Gayatri, lalu meraba matanya yang bengkak karena tangisan.
Dengan cepat Gayatri menarik diri. Menghujamkan pukulan berkali-kali ke dada lelaki yang menyunggingkan senyum kemenangan kepadanya. “Kamu jahat, Karim. Kamu bunuh suamiku.” Gayatri menangis tersedu. Dia sangat yakin pembunuh suaminya adalah laki-laki yang berdiri di hadapannya,
"Aku datang ke sini untuk memberimu tawaran terakhir. Kembali bersamaku atau selamanya hidup menderita." Gayatri spontan meludahi wajah lelaki itu tanpa rasa takut sedikitpun.
"Selamanya aku tidak sudi hidup bersamamu. Dasar biadab!"
“Aku biadab? Bukannya kamu yang mengingkari janjimu? Kau pergi meninggalkanku.”
“Terkutuk kamu, Karim.”
Dilemparkannya asbak yang ada di meja, tepat mengenai pelipis lelaki itu. Gayatri tertawa puas. Laki-laki itu tidak membalas, hanya mengambil sapu tangan di saku celananya. Lalu membersihkan wajahnya.
Ada sedikit darah yang menempel di sapu tangan. Laki-laki itu berjalan ke arah cermin besar melihat wajahnya yang barusan tergores. Rahangnya mengeras Kemudian membetulkan tatanan rambutnya.
"Jangan pernah menyesal dengan keputusanmu," jawabnya langsung pergi dari hadapan Gayatri. Dari kejauhan, Arumi berlari dengan penuh bahagia membawa boneka berukuran besar dan tas berisi banyak barang di pundaknya.